Sejarah Gerakan Buruh Indonesia (Dari Tahun 1905 Sampai Tahun 1926) D.N. Aidit (Desember 1952)
Sejarah Gerakan Buruh Indonesia (Dari Tahun 1905 Sampai
Tahun 1926)
D.N. Aidit (Desember 1952)
Sumber: Sedjarah Gerakan Buruh Indonesia, D.N.
Aidit. Djakarta: Jajasan "Pembaruan", 1952. Scan
PDF Brosur "Sedjarah Gerakan Buruh Indonesia "
ISI
------------------------------------------------------------
Satu kekurangan besar yang sangat dirasakan oleh kader-kader
gerakan buruh pada waktu belakangan ini ialah belum diketahuinya sejarah
gerakan buruh Indonesia. Dengan perkembangan gerakan buruh sekarang ini, dimana
tingkatan kesadaran berorganisasi dari kaum buruh sudah semakin tinggi,
sehingga melahirkan serikat buruh pada hampir setiap cabang produksi, maka
mulai dirasakan sungguh-sungguh pentingnya pengetahuan sejarah gerakan buruh
Indonesia oleh kader-kader yang memimpin gerakan buruh sekarang ini. Memang
adalah suatu kenyataan, bahwa kurangnya pengertian dari kader-kader buruh
tentang sejarah gerakan buruh Indonesia, selama ini telah menjadi penghambat
yang besar bagi perkembangan yang cepat daripada gerakan buruh sendiri.
Kenyataan ini sangat mudah untuk dipahami jika diingat bahwa kader-kader yang
memimpin gerakan buruh sekarang ini hampir seluruhnya masih sangat muda
usianya. Dari kader-kader yang masih muda usianya, tentu saja tidak bisa
diharapkan bahwa mereka bisa mempunyai pengalaman yang kaya di lapangan
organisasi maupun di lapangan politik. Tetapi kekurangan yang disebabkan oleh
usia yang muda ini bukannya tidak bisa diatasi. Dan jalan satu-satunya untuk
mengatasi ialah mengisi kekurangan pengalaman itu dengan pengetahuan dari buku,
pengetahuan dari sejarah. Tetapi justru buku tentang sejarah gerakan buruh
Indonesia yang diperlukan ini belum tersedia selama ini.
Berdasarkan kenyataan-kenyataan di atas ini, kita berkeyakinan
bahwa terbitnya brosur sejarah Gerakan Buruh Indonesia sekarang ini akan
mendapat sambutan yang hangat dari kader-kader buruh pada umumnya.
Penerbit
Jakarta, Desember 1952
Masalah pokok dari masyarakat kapitalis. Masyarakat barang
dagangan. Hukum-hukum ekonomi yang menguasai perkembangan kapitalisme. Zaman
imperialisme dan pengaruhnya atas gerakan buruh. Menyusun organisasi buruh atas
dasar nasional dan mengadakan kerjasama secara internasional.
Masalah pokok dari masyarakat kapitalis dapat kita simpulkan
dalam pertanyaan: Apa sebab di satu pihak ada manusia yang bekerja keras,
tetapi walaupun demikian tidak mendapat hasil yang cukup untuk hidup sebagai
manusia, sedangkan di pihak lain ada manusia yang hidup sangat mewah dengan
bekerja sedikit atau samasekali tidak mesti bekerja untuk mendapatkan kemewahan
itu. Atau kita simpulkan dengan perkataan lain: Bagaimana bisa terjadi, bahwa
segolongan kecil manusia menguasai hasil pekerjaan orang banyak?
Untuk menjawab pertanyaan ini kita harus mengenal sifat dari
kapitalisme. Pertama-tama harus kita ketahui, bahwa kapitalisme ialah
masyarakat barang dagangan. Apakah artinya masyarakat barang dagangan?
Masyarakat barang dagangan artinya, bahwa barang-barang yang
diproduksi tidak ditujukan langsung untuk dipakai, tidak untuk memenuhi
kebutuhan sendiri, tetapi ditujukan untuk dijual di pasar agar mendapat untung.
Jadi tujuan pertama, bukan untuk memenuhi kebutuhan, tetapi untuk mendapat
keuntungan. Jadi bagi kapitalisme, yang penting dihasilkan bukannya barang yang
dibutuhkan oleh Rakyat, tetapi barang yang paling banyak mendatangkan untung
baginya. Kelanjutan daripada tujuan mencari untung ini ialah adanya produksi
secara anarki dan adanya persaingan merdeka.
Perkembangan daripada kapitalisme tunduk pada hukum yang
tertentu. Adalah kebesaran daripada Karl Marx (1818-1883) yang telah dapat
membukakan hukum-hukum ekonomi dalam bukunya yang terkenal, yaitu “Kapital”.
Ditemukannya teori nilai lebih oleh Marx segera menyinari masalah
yang bagi penyelidik-penyelidik sebelum Marx merupakan masalah yang gelap,
gelap bagi ahli ekonomi borjuis maupun bagi kritikus-kritikus sosialis. Karl
Marx dan Frederick Engels (1820-1895) telah menemukan “hukum gerak”
daripada kapitalisme, dan dalam banyak bukunya telah membeberkan bentuk dan
akibat daripada sistem kapitalis. Dalam pelajaran ekonominya, yaitu ekonomi
politiknya, Marx tidak hanya mengajar proletariat tentang bagaimana
kedudukannya dalam masyarakat kapitalis, tetapi juga memberikan jaminan-jaminan
pada proletariat akan kemenangannya sendiri.
Dalam pertengahan abad ke-19, di negeri-negeri yang sudah
maju, perusahaan-perusahaan kepunyaan suatu famili bergabung menjadi satu dan
dengan demikian membuka jalan bagi industri cara besar-besaran. Kapital untuk
industri mulai berpadu dengan kapital: bank, yang melahirkan kapital finansial.
Jadi, kapital finansial ialah perpaduan antara kapital bank dengan kapital
industri. Di Amerika Serikat kapitalis besar seperti JP. Morgans mulai
menanamkan modalnya yang besar ke dalam industri, memajukan dan menguasai
industri, misalnya United States Steel Corporation. Di Jerman “bank
dagang” seperti Darmstadter, Deutsche, dan Dresdener melakukan pekerjaan
terutama dalam memajukan, memberi modal dan mengawasi perusahaan industri.
Peluasan ekonomi Jerman maju dengan sangat pesat. Sejak
tahun 1873, kaum kapitalis Inggris untuk pertama kalinya mulai mendapat
“saingan luar negeri” yang sungguh hebat. Perlombaan mencari pasar, mencari
sumber bahan mentah dan mencari jalan yang menguntungkan untuk mengekspor
kapital, menimbulkan perebutan tanah jajahan. Pembagian dunia di antara
negara-negara penjajah ini selesai pada akhir abad ke-19.
Kapitalisme yang sudah mencapai perkembangannya sebagai yang
diterangkan di atas, dinamakan imperialisme. Jadi, imperialisme adalah tidak
lain daripada kapitalisme yang sudah mencapai tingkat yang paling tinggi,
tingkat yang sudah mendekatkan kapitalisme kepada liang kuburnya, yaitu di mana
kapital bank dan kapital industri sudah berpadu menjadi satu, menjadi kapital
finansial. Tingkat imperialisme dicapai oleh kapitalisme pada peralihan dari
abad ke-sembilan belas ke abad ke-duapuluh. Pada tingkat ini seluruh dunia
sudah dikuasai oleh kapital dan semua daerah koloni sudah dibagi-bagi di antara
negara-negara imperialis. Dengan demikian sistem produksi kapitalis menjadi satu
sistem dunia.
Dalam zaman imperialis rumah tangga dunia dikuasai oleh satu
sistem ekonomi. Di dalam rumah tangga dunia yang satu ini terdapat berbagai
grup negara yang satu dengan lainnya bertentangan, yang antara lain dengan
jalan peperangan berebutan daerah, berebutan sumber bahan mentah dan pasar.
Zaman imperialis besar pengaruhnya pada kemajuan gerakan
buruh. Pertama, kemajuan industri secara besar-besaran melahirkan massa kaum
buruh yang lebih besar lagi dan menggampangkan menyusun organisasi buruh di
atas dasar kelas yang lebih luas.
Pada mulanya, kaum buruh hanya bersangkutan dengan kaum
majikan setempat. Ini pula yang menyebabkan gerakan buruh di Inggris terhambat
kemajuannya oleh perasaan kedaerahan dan perasaan golongan (ingat Owenisme dan
Chartisme pada pertengahan yang pertama dari abad ke-19).
Sekarang kaum buruh mesti menghadapi persekutuan-persekutuan
perusahaan besar yang meliputi seluruh negara, jadi tidak lagi menghadapi orang
perorangan. Dengan sendirinya, organisasi yang bisa dengan tepat melindungi
kepentingan kaum buruh, hanya organisasi serikat buruh yang disusun di atas
dasar nasional (meliputi seluruh negara), dan bersamaan dengan itu mengulurkan
tangannya hingga keluar batas daerah-daerah nasional juga. Yang terakhir ini
adalah penting, mengingat bahwa dalam zaman imperialis rumah tangga dunia
dikuasai oleh satu sistem ekonomi.
Hanya dalam hubungan seperti diterangkan di atas kita bisa memahami
masyarakat Indonesia dan hubungannya dengan dunia luar. Dan hanya dalam
hubungan itu pula kita bisa memahami gerakan buruh dan gerakan Rakyat
Indonesia, serta hubungan gerakan nasional ini dengan gerakan buruh dan gerakan
Rakyat sedunia.
Penghapusan perbudakan “cultuurstelsel” dan monopoli negara.
Zaman kapitalis industri di Indonesia. Permulaan zaman imperialis di Indonesia
dan timbulnya proletar industri. Kedudukan Indonesia dalam ekonomi dunia.
Walaupun sudah ada industri-industri modern, tetapi Indonesia adalah negeri
agraria atau negeri borjuis kecil.
Sebelum tahun 1870, eksploitasi (penghisapan) yang
dijalankan oleh pemerintah Hindia Belanda terhadap Rakyat Indonesia didasarkan
atas peraturan “cultuurstelsel”. Peraturan ini dilahirkan dalam tahun 1830 di
bawah kekuasaan Gubernur Jenderal van den Bosch (gubernur jenderal di
Indonesia tahun 1830-1833, kemudian tahun 1833-1839 menjadi menteri jajahan). “Cultuurstelsel”
diadakan dengan maksud supaya Indonesia bisa membikin sehat keuangan negara
Belanda yang sedang bangkrut disebabkan oleh pengeluaran untuk melawan Dipo
Negoro (perang Dipo Negoro tahun 1825-1830, dan untuk ini negara Belanda
harus mengeluarkan f.20.000.000,—), untuk menindas perlawanan bangsa Belgia
terhadap Belanda (pemberontakan Belgia 1830-1839), dan disebabkan oleh keadaan
ekonomi negeri Belanda yang pada umumnya sangat jelek ketika itu. Apa sebab
justru van den Bosch yang dikirim ke Indonesia oleh raja Belanda Willem I?
Karena van den Bosch mempunyai pengalaman sebagai gubernur Guyana-Belanda
di bagian Utara dari Amerika Selatan, dimana dilakukan kerja perbudakan sebagai
dasar penghisapan kolonial.
“Cultuurstelsel” mewajibkan kaum tani : 1) menyerahkan hasil
buminya pada pemerintah Hindia Belanda; 2) kerja paksa (rodi) untuk pemerintah;
3) memikul berbagai macam pajak.
Kemudian kewajiban “menyerahkan sebagian hasil buminya” dan
“kerja-paksa”, diganti dengan “menyerahkan sebagian tanahnya” untuk ditanami
bahan-bahan ekspor yang laku pada waktu itu (kopi, teh, torn atau indigo).
Rakyat diwajibkan mengerjakan tanah bagian pemerintah mulai dari membuka tanah,
menanam, memelihara, menjaga, memetik, memelihara hasilnya, mengangkut ke
gudang, menjaga gudangnya, hingga bahan-bahan itu terjual. Pekerjaan ini semua
dikerjakan dengan paksaan. Dengan “cultuurstelsel” ini pemerintah Hindia
Belanda memegang monopoli atas hasil ekspor Indonesia dengan tiada kongkurensi
dari siapapun. Dengan demikian jelaslah, bahwa “Cultuurstelsel” ditambah dengan
kekuasaan raja di berbagai daerah, merupakan penghisapan dan penindasan yang
sangat kejam atas kaum tani Indonesia oleh kapital dagang asing (Belanda) dan
oleh raja-raja yang dilakukan dengan sewenang-wenang, secara memusat maupun
secara lokal.
Oleh pemerintah Hindia Belanda ditetapkan, bahwa yang
menampung hasil bumi ialah Nederlandse Handel Maatschappij, yaitu maskapai
yang didirikan oleh Raja Willem I. Di samping menyerahkan sebagian hasil
buminya kepada pemerintah Hindia Belanda, kaum tani masih diharuskan
menyerahkan sebagian dari hasil buminya kepada kaum bangsawan bumiputera dan
harus mengerjakan pekerjaan untuk kaum bangsawan dengan tidak dibayar. Dengan
demikian, di bawah “cultuurstelsel” yang masih tinggal bagi kaum tani hanya
kemelaratan belaka. Oleh karena itu kaum tani mengadakan perlawanan-perlawanan
yang sengit terhadap “cultuurstelsel” dengan mengadakan
pemberontakan-pemberontakan setempat atau dengan mengadakan perlawanan secara
diam-diam terhadap pelaksanaan kerja paksa.
Kebalikan daripada kemelaratan bagi kaum tani, dengan adanya
“cultuurstelsel” negara Belanda dapat mengangkut keuntungan beratus-ratus juta
florin (rupiah Belanda). Tentang kekejaman “cultuurstelsel” ini telah diadakan
kritik yang sangat tajam oleh Multatuli (nama samaran Eduard Douwes Dekker,
hidup tahun 1820-1887), yaitu seorang Belanda yang dalam tahun 1856 menjadi
Asisten Residen di Lebak, Banten, dalam bukunya yang tersohor “Max Havelaar”.
Multatuli adalah masuk golongan penulis revolusioner, walaupun dia tidak
mengetahui jalan keluar daripada keadaan yang tidak baik yang dikutuknya.
Sangat menarik hati, bahwa Frederick Engels dalam suratnya
kepada August Bebel (sosialis Jerman, 1840- 1913 ) pada tanggal 18
Januari 1884 menerangkan, bahwa keadaan di Jawa di bawah “cultuurstelsel”,
dengan eksploitasi negara yang tak terbatas, adalah contoh yang sangat baik
bagi kaum “sosialis” yang pada waktu itu memandang “sosialisme-negara” sebagai
juru selamat. Jawa dengan “cultuurstelsel”nya adalah model bagi
sosialisme-negara yang dicita-citakan oleh kaum “sosialis”. Dibanding dengan
praktek “cultuurstelsel” Belanda di Jawa, apa yang dilakukan oleh Bismarck (pemimpin
reaksioner dari negara Jerman tahun 1815-1898) hanyalah perbuatan kanak-kanak. Engels mengatakan,
sebagai ejekan kepada kaum “sosialis”, bahwa di Jawa “pemerintah Belanda
dengan sangat bagus secara sosialis telah mengorganisasi seluruh produksi atas
dasar masyarakat desa yang masih komunis kuno dan penjualan daripada hasil
produksi berada dalam tangan negara”. Dan kita ketahui bahwa dari
sosialisme-negara inilah dikeduk keuntungan beratus-ratus juta. Demikianlah
kekuasaan negara kapitalis atas produksi dan distribusi sama sekali tidak
berarti sosialisme.
Sifat monopoli dari pemerintah Belanda seperti diterangkan
di atas, menjadi penghalang yang sangat besar bagi perkembangan modal
partikelir dari kaum borjuis Belanda yang sedang tumbuh. Sesuai dengan
perkembangan kapital industri partikelir di negeri Belanda, pada akhir abad
ke-19 timbullah dorongan yang sangat besar dari kalangan borjuis Belanda untuk
melebarkan sayapnya ke tanah jajahan, artinya untuk mengekspor modalnya ke
Indonesia. Ini menimbulkan perjuangan politik yang sengit di negeri Belanda. Di
satu pihak golongan pemerintah, yaitu golongan yang mempertahankan “cultuurstelsel”
dan monopoli-negara, sedangkan di pihak lain golongan kaum liberal, yaitu
kapitalis industri partikelir Belanda yang membela sistem “baru” dan
menganjurkan “kerja merdeka” di Indonesia, sebagai kebalikan daripada sistem
monopoli-negara dan kerja-paksa.
Sekalipun pihak pemerintah keras mempertahankan sistem
monopoli-negara dan kerja-paksa, tetapi akhirnya kaum kapitalis industri
partikelir dan “kerja merdeka”' mendapat kemenangan. Pada 1 Januari 1860 dalam
prinsipnya perbudakan di Jawa dihapuskan. Dalam tahun 1860 hari kerja
untuk negara, apa yang disebut rodi (herendienst), secara resmi masih berjumlah
“52 hari dari 10 jam” saban tahun, dan dalam jumlah ini belum dihitung
kewajiban kerja untuk kaum feodal, untuk pegawai negeri dan untuk desa.
Penghapusan sepenuhnya daripada tanam-paksa untuk perusahaan gula baru
dilakukan tahun 1890.
Dalam tahun 1870 diadakan undang-undang agraria, yaitu
undang-undang yang menjamin didapatnya tanah untuk kepentingan kapital
partikelir. Ini adalah pembukaan pintu yang definitif bagi kapital industri
partikelir untuk ambil bagian dalam penghisapan kolonial. Dengan demikian,
tahun 1870 adalah permulaan perpindahan dari politik kapital dagang monopoli ke
politik kolonial “baru” daripada kapital industri, perpindahan dari sistem
monopoli ke sistem persaingan merdeka. Dalam tahun 1870 itu juga diadakan undang-undang
gula, yaitu undang-undang yang memberi kebebasan pada kapital partikelir untuk
mengusahakan gula.
Dengan dibukanya Terusan Suez tahun 1869, hubungan
antara Nederland dengan Indonesia dipermudah. Ini membukakan kemungkinan lebih
besar lagi bagi perkembangan kapital partikelir. Tahun 1870 didirikan maskapai
pelajaran Stoomvaart Maatschappij Nederland (SMN) yang mengatur
hubungan Amsterdam-Indonesia. Tahun 1870 didirikan hubungan kereta api yang
pertama antara Semarang-Surakarta. Tahun 1883 didirikan N.T. Rotterdamse
Lloyd (RL) sebagai hasil perkawinan antara kapital Inggris dengan Belanda
(NHM) dan kapal-kapalnya berlayar di bawah bendera Belanda. Untuk perhubungan
interinsuler oleh SMN dan RL dibentuk N.V. Koninklijke Paketvaart Maatschappij
(KPM), jadi juga sebagai hasil perkawinan antara kapital Belanda dengan kapital
Inggris. Untuk menyaingi SMN dan KPNI, maskapai pelayaran di Liverpool
(Inggris) Alfred. Holt & Co dalam tahun 1891 mendirikan De
Nederlandse Stoomvaart Maatschappij “Ocean”.
Karena kapital bank memegang rol yang sangat penting dalam
peralihan dari zaman kapital dagang monopoli ke zaman imperialis (zaman
peralihan itu di Indonesia ialah dari tahun 1870 sampai 1895), maka penting
diketahui rol bank-bank kolonial di Indonesia.
Yang sangat penting ialah rol dari Javasche Bank sebagai
bank setengah-resmi dengan hak-hak istimewanya. Bank ini didirikan tahun 1828,
jadi tepat ketika menghadapi zaman “cultuurstelsel” dan monopoli negara. Kepada
Javasche Bank diberi hak untuk mengeluarkan uang kertas. Kapital partikelir
kurang perhatiannya pada Javasche Bank, karena di bawah kekuasaan
monopoli-negara, fungsi daripada bank adalah sangat terbatas dan sifatnya yang
setengah-resmi tidak sesuai dengan perkembangan masyarakat kapitalis yang
modern. Baru tahun 1889 fungsi Javasche Bank diperluas, artinya dibolehkan
membeli dan menjual wesel luar negeri, boleh memberikan kredit dan boleh
memasukkan kapitalnya ke dalam perdagangan efek dan hipotik. Sebelum tahun
1889, Javasche Bank mempunyai sifat bank-emissie yang setengah feodal. Dan
sifat ini kemudian juga masih terus dipertahankan, yang antara lain kelihatan
dari kenyataan bahwa presiden Javasche Bank harus diangkat oleh gubernur
jenderal dengan persetujuan Raja Belanda.
Hampir bersamaan waktunya dengan didirikannya Javasche Bank,
dalam tahun 1824 didirikan Nederlandse Handel Maatschappij (NHM) atau
FACTORIJ, yang dalam perkembangan selanjutnya menjadi salah satu bank kolonial
yang terpenting di Indonesia. Pada mulanya maskapai ini adalah satu perusahaan
dagang dan perkapalan yang erat hubungannya dengan pemerintah Belanda dan
dengan kaum istana Belanda. Teranglah, bahwa maskapai ini mendapat hak-hak
monopoli dan seluruh hasil bumi yang didapat negara dari “cultuurstelsel” jatuh
ke dalam tangan maskapai ini. Dan karena hasil-hasil bumi ini sangat penting
bagi industri di negeri Belanda dan di Indonesia (pabrik teh, gula, dan
sebagainya), maka jelaslah bahwa NHM mempunyai pengaruh yang besar atas
industri-industri itu.
Bertambah besarnya pengaruh kapital partikelir di Indonesia
kelihatan pada bagian kedua dari abad ke-19 dengan didirikannya sejumlah
bank-bank kolonial, antara lain: Tahun 1857 didirikan Nederlands-Indische
Escompto Maatschappij, yaitu bank yang tertua yang didirikan dalam periode
perkembangan kapital industri partikelir. Pekerjaan bank ini ialah menggerakkan
kapital yang ada di Indonesia. Kewajibannya ialah membikin operasi-operasi di
lapangan kredit dan wesel. Dalam tahun 1863 didirikan Nederlands-Indische
Handelsbank (NIHB), yang sejak tahun 1950 bernama Nationale Bank, di mana
di dalamnya, kecuali kapital Belanda juga ikut serta kapital Jerman dan
Prancis.
Bank ini bertujuan memberi persekot (uang muka) dan memberi
dorongan pada perusahaan-perusahaan perkebunan, perdagangan dan industri. Oleh
bank ini dalam tahun 1885 didirikan Nederlands-Indische Landbouw Maatschappij,
dan dengan perantaraan maskapai ini NIHB menguasai onderneming-onderneming
kolonial. Dalam tahun 1863 itu juga didirikan Internationale Credit en
Handelsvereniging Rotterdam, sebagai bagian daripada Rotterdamse Bank yang
sangat terikat pada kapital Jerman. Mula-mula yang diutamakan oleh bank ini
ialah soal perdagangan dan komisi, di Indonesia maupun di negeri-negeri lain,
tetapi ternyata kemudian perhatian bank ini terutama ditujukan kepada menguangi
dan mengontrol secara langsung perusahaan-perusahaan dagang dan perkebunan di
Indonesia. Dalam tahun 1881 didirikan Koloniale Bank dengan program
“menguangi perusahaan-perusahaan pertanian dan industri”.
Demikianlah kita lihat, bahwa dalam bank-bank kolonial di
Indonesia tidak hanya ada kapital Belanda, tetapi juga kapital negeri-negeri
lain. Di samping bank-bank kolonial di atas, juga mengadakan operasi di
Indonesia agen-agen bank asing bukan-Belanda di antaranya Oriental Bank
Corporation dan Chartered Bank of India, Australia and China, yang
terutama mengadakan operasi di lapangan kredit. Pengaruh yang terpenting
daripada kapital luarnegeri dilakukan dengan melewati bank-bank dan
konsern-konsern finansiil-industri Belanda. Sudah cukup terkenal bahwa maskapai
minyak Royal Dutch (Koninkelijke Petroleum Maatschappij) pokoknya
adalah onderneming Inggris, sedangkan dalam perkebunan karet di Sumatera
berkuasa kapital Amerika.
Pada umumnya bank-bank kolonial di atas timbul pada
permulaan zaman munculnya kapital industri partikelir sebagai badan yang
mengurus kredit dan keuangan. Tetapi dapat dipastikan, bahwa segera perusahaan
kolonial jatuh di dalam kekuasaannya, ia menjalankan kontrol yang menentukan
atas perusahaan-perusahaan kolonial itu. Sebagai contoh dapat kita lihat
dari kenyataan-kenyataan sebagai berikut: Sudah sejak tahun 1875 NHM mempunyai:
4 kebun kopi, 1 kebun tembakau, 1 kebun indigo; di Jawa ia mengontrol 3 pabrik
gula, di Jawa dan Sumatera 3 perusahaan eksploitasi hutan. Demikian pula NHM
telah membuka perusahaan minyak tanah yang pertama di Indonesia. Dalam tahun
1875 NHM ambil bagian dalam perkebunan, dalam kredit dan hipotik serta persekot
untuk hasil bumi, yang seluruhnya berjumlah 57 juta florin. Tahun 1915 NHM
mempunyai 9 kebun tebu dan 7 buah pabrik di Jawa. Selain daripada itu bank ini
mengontrol: 22 pabrik gula, sejumlah kebun kopi, 14 kebun tembakau, 12 kebun
teh dan 14 kebun karet.
Dalam tahun 1895 timbul serangan krisis yang hebat, yang
menghancurkan sebagian besar kapitalis-kapitalis partikelir, dan ini memberi
kesempatan pada kapital finans untuk berkuasa sepenuhnya. Kekuasaan kapital
finans ini berpusat pada segerombolan kaum uang di Amsterdam. Dengan ini
berarti, bahwa sejak tahun 1895 Indonesia menginjak zaman imperialisme, yaitu tingkat
tertinggi daripada kapitalisme, di mana kapital bank dan kapital industri
berpadu menjadi kapital finans, dan monopoli daripada kapital finans ini
menguasai kehidupan ekonomi dan politik Indonesia.
Sangat menarik hati, bahwa justru NHM, yang didirikan
sebagai alat kapital dagang monopoli dalam zaman sistem kerja-paksa ( “cultuurstelsel”),
yang berkembang menjadi satu badan finansiil kolonial yang paling berkuasa
daripada zaman imperialis. Ini menunjukkan adanya perpindahan yang boleh
dikatakan cepat dari kapital dagang monopoli kepada kapital finans monopoli.
Zaman antara kapital dagang monopoli dengan kapital finans monopoli adalah
zaman industri partikelir, dan zaman ini tidak lama di Indonesia, yaitu dari
tahun 1870 sampai 1895.
Tidak lamanya kapital industri partikelir di Indonesia, atau
lebih tepat jika dikatakan terlambatnya mulai kapital industri, disebabkan
karena industri di negeri Belanda adalah terbelakang jika dibanding dengan
Inggris yang terkenal sebagai “bengkel dunia”. Selama masa tahun 1840-1860 di
Inggris sudah berlaku kongkurensi merdeka dan perdagangan bebas, dan politisi
borjuis di Inggris sudah tampil ke muka dengan tuntutan “kemerdekaan” untuk
koloni, tetapi di Indonesia ketika itu masih merajalela kerjapaksa dan monopoli
negara. Dan sebagai sudah diterangkan di atas, baru tahun 1870 negeri Belanda
membuka kesempatan bagi kapital partikelir dan perdagangan partikelir untuk
bekerja di Indonesia.
Untuk menjamin keselamatan kapital yang diekspor, seluruh
daerah Indonesia harus ditundukkan di bawah kekuasaan Belanda secara politik
maupun secara militer, dan kemungkinan-kemungkinan yang tak terbatas bagi
perkembangan kapital harus diselidiki. Untuk menundukkan seluruh Indonesia di
bawah kekuasaan Belanda, maka dilakukanlah peperangan kolonial di berbagai
bagian Indonesia. Di mana-mana timbul perlawanan-perlawanan sengit dari Rakyat,
terutama dari kaum tani. Tetapi karena perlawanan-perlawanan kaum tani tidak
mendapat pimpinan yang tepat, karena dikhianati oleh kaum feodal, dan karena
persenjataan yang lebih sempurna dari pihak Belanda, perlawanan-perlawanan kaum
tani dapat ditindas di mana-mana dan ditetapkanlah kekuasaan Belanda di
daerah-daerah luar Jawa (di Jawa sudah lebih dulu dikuasai). Demikianlah
pemerintah Belanda memperkuat atau meluaskan kekuasaannya di Bali (pertempuran
penghabisan tahun 1908), di Lombok (perang tahun 1894-1895), di Sumbawa, Dompo,
Flores, Boni (perlawanan penghabisan tahun 1908), Banjarmasin (1906), Jambi
(1907), Riau (1913), Tapanuli (Singa Mangaraja ke-10 tewas tahun 1907), Aceh
(perang 1873-1908).
Di samping tindakan-tindakan politik dan kemiliteran, untuk
menjamin keuntungan-keuntungan yang luar biasa bagi kapital yang diekspor,
pemerintah Belanda mengadakan pemeriksaan-pemeriksaan di lapangan ilmu tanah,
ilmu bumi, ilmu tumbuhan, ilmu hewan, dan sebagainya. Juga dipelajari
adat-istiadat, bahasa, agama, kesenian dan sejarah anak negeri. Pada tahun
1893-1898 diadakan pemeriksaan secara ilmu di Kalimantan, dan tahun 1893-1903
di Sulawesi. Pengetahuan-pengetahuan tentang alam dan tentang masyarakat
Indonesia dipergunakan oleh kaum imperialis untuk kepentingan pertambangan,
pertanian dan perkebunan, pemerintahan, dan sebagainya. Demikianlah ilmu
pengetahuan dipakai oleh kaum imperialis untuk menguras kekayaan alam Indonesia
dan untuk terus memperbudak Rakyat Indonesia.
Imperialisme telah menghancurkan “cultuurstelsel” dan
monopoli-negara, karena sistem ini sudah tidak cocok lagi dengan tingkat
kapitalisme yang sudah mencapai puncaknya. Apa yang dimaksudkan oleh kaum
liberal dengan sistem “baru” dan “kerja merdeka” kemudian berwujud sistem
“baru” dalam mengeksploitasi dan “kerja merdeka” bagi kapital monopoli.
Sedangkan bagi kaum buruh dan kaum tani sebagaimana juga dalam zaman “cultuurstelsel”
dan monopoli-negara, yang tersedia hanyalah kemelaratan. Di villa-villa yang
indah-indah, kelas satu dan di gedung-gedung di kota-kota besar yang
bermandikan cahaya listrik di waktu malam, tinggallah kaum penghisap, yaitu
orang Belanda dan orang-orang Eropa lainnya. Dan di samping kemewahan yang
luarbiasa itu hiduplah berjuta-juta kuli bangsa Indonesia, yaitu yang diikat
oleh kontrak-kontrak yang berdasarkan “ordonansi kuli” (yang pertama untuk
Sumatera Timur tahun 1880), dan jika mereka bekerja kurang keras sedikit saja,
mereka mendapat pecut dengan rotan. Mereka terikat oleh apa yang dinamakan
“poenale sanctie”, yaitu ketentuan hukuman dari pemerintah Hindia Belanda bagi
mereka yang menjalani kontrak, misalnya bagi mereka yang menolak untuk bekerja
atau yang melarikan diri karena tidak tahan siksaan.
Dari 100 kuli kontrak saban tahun meninggal 30 orang. Wanita
muda tidak sedikit yang juga diangkut ke daerah-daerah perkebunan, jauh dari
tempat kelahirannya, dengan upah beberapa sen sehari, dan mereka pada akhirnya
banyak terpaksa menjalankan prostitusi.
Semuanya ini membuktikan, bahwa kaum imperialis telah
mengganti “cultuurstelsel” dengan perbudakan secara baru, antara lain,
perbudakan “poenale sanctie” untuk menjamin tenaga murah bagi onderneming (baru
tahun 1931 “poenale sanctie” dihapuskan secara berangsur-angsur).
Dalam zaman imperialis kedudukan Indonesia dalam hubungan
ekonomi dunia antara lain ialah :
Pertama: sebagai sumber bahan mentah: Indonesia
mengirimkan ke luar negeri hasil-hasil perkebunan seperti karet, teh, tembakau,
kopi, gula, kopra, kina, kapok, lada, rempah-rempah, dan sebagainya. Di samping
itu juga mengekspor hasil pertambangan seperti minyak tanah, bauksit, timah,
dan lain-lain.
Kedua: sebagai sumber tenaga buruh yang murah: Kaum
imperialis tidak hanya menggunakan tenaga murah daripada buruh “merdeka” untuk
membangun jembatan-jembatan, jalan-jalan kereta api, pelabuhan-pelabuhan,
pembukaan daerah-daerah eksploitasi yang baru, dan sebagainya, tetapi mereka
juga menggunakan kuli kontrak, yang diambil dari daerah-daerah pertanian di
Jawa yang sangat melarat untuk dipergunakan di luar Jawa yang kekurangan tenaga
kerja.
Ketiga: sebagai pasar untuk menjual hasil produksi
negeri-negeri kapitalis: yang terutama mendapat pasar di Indonesia ialah
barang tekstil, mesin-mesin, barang-barang keperluan pabrik, barang-barang
hasil kimia, dan sebagainya.
Keempat: sebagai tempat penanaman modal asing: Sebelum
krisis tahun 1929, kapital Belanda yang tertanam di Indonesia lebih kurang tiga
perempat daripada semua kapital yang tertanam di Indonesia (semuanya kira-kira
6 miliar florin). Yang nomor dua besarnya ialah kapital Inggris, kemudian baru
kapital Amerika Serikat, Jepang, dan lain-lain. Penanaman modal asing di
Indonesia, di mana kekuasaan politik ada di tangan imperialis Belanda dan di
mana kombinasi antara sistem penghisapan secara kapitalis dan purba-kapitalis
(sebelum kapitalis) memungkinkan keuntungan kolonial yang luar biasa, adalah
juga berarti lebih membikin Indonesia menjadi negeri yang tergantung dan lebih
memperkuat kedudukan imperialisme.
Salah satu tujuan terpenting daripada politik kolonial kaum
imperialis ialah memajukan industri negerinya sendiri. Oleh karena itu, politik
kolonial dari imperialis menentang adanya perkembangan industri yang
seluas-luasnya di Indonesia, dan inilah sebabnya kerajinan tangan dari Rakyat
tidak berkembang menjadi industri modern sebagaimana terjadi di Eropa, dan
inilah pula sebabnya mengapa kapital kolonial membatasi diri dengan hanya
mendirikan industri pembantu untuk mengerjakan bahan mentah dan hasil lain guna
diekspor.
Industri nasional sangat terbatas perkembangannya, misalnya
hanya meliputi: perusahaan menganyam topi, tikar, keranjang, dan sebagainya;
yang sudah sedikit maju ialah perusahaan batik dan rokok kretek. Besarnya
perusahaan batik sangat bermacam-macam, ada yang mempunyai buruh 2-3 orang, ada
juga belasan dan puluhan, dan ada juga yang sampai ratusan (di Jawa Tengah).
Perusahaan-perusahaan batik ini sangat tergantung pada importir-importir besar
bangsa asing yang mendatangkan keperluan-keperluan perusahaan batik.
Sebagaimana juga perusahaan batik, perusahaan rokok kretek bekerja dengan
alat-alat yang sederhana. Dengan sendirinya, perusahaan rokok kretek terus
menerus didesak kedudukannya oleh industri-industri rokok Eropa yang modern.
Perusahaan batik atau rokok dihalangi oleh politik imperialis.
Indonesia adalah negeri yang kaya pelikan (barang tambang).
Di samping batubara dan minyak tanah, bumi Indonesia kaya dengan besi, emas,
perak, sink, mangan, tembaga, elfrooin, air-rasa, iodium, asfalt, dan
lain-lain. Jadi sebenarnya Indonesia mempunyai syarat-syarat untuk pembangunan
industri di segala lapangan. Tetapi oleh kapital kolonial di Indonesia hanya
didirikan industri pembantu untuk mengerjakan bahan mentah dan hasil lain-lain
guna diekspor. Politik perampokan kolonial tidak tujukan untuk membikin maju alat-alat
produksi guna kemajuan masyarakat Indonesia, tetapi ditujukan untuk menguras
kekayaan alam Indonesia sebanyak-banyaknya dan dengan cara-cara yang paling
banyak mendatangkan untung. Industri yang termasuk maju ialah pabrik gula,
pabrik remiling, pabrik teh, pabrik tembakau, penyaring minyak tanah, dan
sebagainya. Di samping itu, untuk memelihara perusahaan-perusahaan kolonial,
didirikan bengkel-bengkel reparasi dan berbagai pabrik mesin kecil,
industri-industri untuk keperluan kereta api, keperluan kendaraan bermotor,
kapal, pelabuhan, dan sebagainya. Untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan orang
Eropa didirikan perusahaan limun, bin, gas dan listrik.
Walaupun sistem kerja paksa dan monopoli negara sudah hapus,
dan ini membuka kesempatan bagi perkembangan daripada kapitalisme, tetapi
politik kolonial daripada imperialis menghalangi perkembangan industri yang
sewajarnya. Dibanding dengan negeri-negeri Eropa yang sudah maju ekonominya,
Indonesia adalah masih sangat terbelakang. Kira-kira empat perlima dari seluruh
Rakyat Indonesia masih mengerjakan pertanian, sedang yang bekerja di lapangan
industri besar dan kecil, di lapangan perdagangan, pertambangan, transport, dan
lain-lain seluruhnya hanya kira-kira seperlima. Keadaan ini menunjukkan bahwa
Indonesia, walaupun sudah ada perkembangan kapitalisme, adalah suatu negeri
agraria, artinya negeri yang dilihat dari sudut ekonomi adalah terbelakang dan
jumlah produksi nasionalnya sebagian besar terdiri dari hasil produksi di
lapangan agraria. Indonesia adalah negeri borjuis kecil, artinya negeri, di
mana perusahaan-perusahaan pemilik kecil, yaitu pertanian perseorangan yang
kurang produktif, masih bercokol.
Pertentangan antara buruh dengan kapital. Pertentangan
antara imperialis yang satu dengan imperialis lainnya. Pertentangan antara
negara penjajah dengan Rakyat jajahan.
Sejak Indonesia dalam tahun 1895 menginjak zaman imperialis,
maka terdapatlah di Indonesia tiga pertentangan (kontradiksi) pokok dalam tubuh
imperialisme itu sendiri. Tiga pertentangan pokok itu ialah
pertentangan antara buruh dengan kapital, antara massa kaum
buruh yang luas dengan grup-grup kecil yang sangat kaya, dan karena kayanya
mereka berkuasa.
pertentangan antara berbagai grup finansiil (kaum uang) dan
berbagai grup negara imperialis dalam perjuangannya untuk mendapatkan sumber
bahan mentah, untuk mendapat daerah-daerah asing.
pertentangan antara segenggam bangsa yang berkuasa, yang
“berkebudayaan”, dengan beratus-ratus juta bangsa jajahan dan setengah jajahan.
Mengenai pertentangan yang pertama, yaitu
pertentangan antara buruh dengan kapital, dapat dijelaskan sebagai berikut:
Dalam buku Sanusi Pane, Indonesia Sepanjang Masa, antara
lain diterangkan bahwa pada tahun 1923 ditaksir modal asing di Indonesia ada
2.650 juta florin (rupiah Belanda). Untungnya pukul rata saban tahun 500 juta.
Untung ini sebagian besar mengalir keluar negeri sebab di sanalah
pemegang-pemegang andil dan direksi.
Dari keterangan Sanusi Pane di atas jelaslah, bahwa kaum
kapitalis monopoli, yang menguasai seluruh hidupan ekonomi dan politik,
berusaha untuk mendapat untung sebesar-besarnya dengan jalan memperbesar nilai lebih,
yang tidak boleh tidak mesti diikuti oleh penghisapan yang lebih hebat dan oleh
penurunan tingkat hidup dari kaum buruh. Keadaan ini yang memaksa kaum buruh
untuk terus-menerus mengadakan perjuangan melawan serangan-serangan kapitalis
monopoli terhadap tingkat hidupnya.
Dalam pertentangan antara buruh dan kapitalis monopoli, kaum
kapitalis menggunakan negara kapitalis sebagai alatnya. Pada suatu keadaan, di
mana mereka tidak mampu lagi mempertahankan kepentingan-kepentingannya secara
demokrasi parlementer, maka merekapun memfasiskan sistem negara. Dalam zaman
imperialis, negara kapitalis tidak hanya memainkan rol sebagai agen, tetapi
juga ia menjadi diktator upah untuk kepentingan kaum monopoli.
Untuk membela kepentingan-kepentingannya, ada kalanya kaum
buruh terpaksa mengadakan pemogokan-pemogokan secara massa. Dari mogok terhadap
satu perusahaan, menjadi mogok terhadap semua perusahaan yang satu jenisnya,
dan selanjutnya yang bermacam-macam jenisnya. Dari mogok terhadap perusahaan
kapitalis menjadi mogok terhadap negara kapitalis, menjadi mogok politik.
Demikianlah pertentangan-pertentangan antara buruh dengan kapital, makin lama
makin tajam, dan ada kalanya kaum pemogok mesti berhadapan dengan negara
kapitalis yang menggunakan kekuatan bersenjata untuk menindas
pemogokan-pemogokan.
Adalah kewajiban dari tiap-tiap pemimpin buruh, untuk
mengatur agar aksi-aksi kaum buruh : 1) dibenarkan dan masuk akal sebagian
besar dari Rakyat sehingga mendapat simpati dan sokongannya; 2) dimulai di mana
keadaan sedang baik untuk massa dan kemungkinan mendapat sukses adalah besar;
3) dimulai dan diakhiri ada titik yang paling tepat dan saat yang paling baik,
tidak boleh merupakan perjuangan melawan musuh yang tidak ada ketentuan kapan
selesainya.
Demikianlah sedikit keterangan tentang pertentangan yang
pertama.
Mengenai pertentangan yang kedua, yaitu pertentangan antara
imperialis yang satu dengan imperialis lainnya, dapat dijelaskan sebagai
berikut:
Sebagaimana diterangkan di atas, karena kuatnya desakan
aliran liberal, pemerintah Hindia Belanda terpaksa mengubah politik monopolinya
dengan politik pintu terbuka (opendeur politik), artinya; Indonesia dibuka
menjadi lapangan eksploitasi kaum modal dari segala bangsa. Sampai sebelum
pecah perang dunia II yang menyerbu menjalankan eksploitasi di Indonesia,
mengusahakan onderneming-ondermening erfpacht ialah modal Belanda, Inggris,
Amerika, Jerman, Prancis, Belgia, Italia, Norwegia, Swedia dan Jepang. Dengan
menjalankan politik pintu terbuka ini pemerintah Hindia Belanda memperhitungkan
dua keuntungan: 1) keuntungan yang langsung, berupa kenaikan hasil pajak; 2)
keuntungan yang tidak langsung, ialah pertahanan bersama antara negeri-negeri
imperialis.
Karena banyaknya modal partikelir dari berbagai negeri yang
ditanam di sini, jadi karena adanya kepentingan bersama, mereka akan
bersama-bersama pula menjaga keamanan dan keselamatan Hindia Belanda, baik dari
serangan dalam negeri yang berupa pemberontakan Rakyat, maupun yang berupa
agresi dari negeri-negeri imperialis lain. Ingat pengalaman pemberontakan tahun
1926 di mana imperialis Inggris dan Amerika aktif menindas pemberontakan
tersebut; ingat pengalaman selama Revolusi Rakyat Indonesia (1945-1948) dan
pengalaman Provokasi Madiun, di mana kaum imperialis dan kaki tangannya berusaha
menghancurkan gerakan Rakyat yang revolusioner.
Walaupun kapitalis monopoli di Indonesia sama-sama
mengeksploitasi alam dan Rakyat Indonesia, ini sama sekali tidak berarti bahwa
antara kapitalis-kapitalis monopoli dan di antara negeri imperialis satu dengan
lainnya sudah tidak ada pertentangan lagi. Di daerah-daerah yang mereka kuasai
mereka memang berusaha melenyapkan kongkurensi merdeka dan menggantinya dengan
monopoli-monopoli mereka sendiri. Tetapi, mengingat wataknya dari kapitalisme
yang sejak lahirnya sudah mengandung kongkurensi merdeka, maka ini sama sekali
tidak berarti bahwa pertentangan di dalamnya sudah tidak ada lagi. Malahan
pertentangan antara grup-grup monopoli dan kekuasaan imperialis satu dengan
lainnya, menjadi makin tajam dari yang sudah-sudah. Salah satu puncak daripada
pertentangan yang tajam ini kita alami dalam perang dunia ke-Il, di mana dengan
kekerasan Indonesia dirampas oleh imperialis Jepang dari tangan imperialis
Belanda.
Pertentangan antara imperialis yang satu dengan imperialis
yang lain, inilah yang menjadi sebab yang pokok daripada perang imperialis.
Timbulnya pertentangan ini, dan dari situ timbulnya peperangan, adalah akibat
daripada perkembangan imperialisme yang tidak sama. Lenin memang
mengatakan, bahwa kapitalisme monopoli sedang menuju kehancurannya, tetapi ini
tidak berarti bahwa ia akan hancur sekaligus seluruhnya. Kehancuran sekaligus
adalah tidak mungkin, karena perkembangan daripada imperialisme sendiri adalah
tidak sama. Dan ini pulalah yang memungkinkan adanya sosialisme di satu negeri
atau di beberapa negeri, walaupun di bagian-bagian lain dari dunia masih
bercokol sistem kapitalisme. Untuk mengkonsolidasi negeri-negeri di mana
kemenangan-kemenangan sudah tercapai, agar kekuatan ini bersama dengan kekuatan-kekuatan
dari Rakyat negeri-negeri yang masih dikuasai oleh imperialis bisa merupakan
kekuatan raksasa guna sama sekali menghancurkan sistem imperialisme, inilah
yang membenarkan keterangan tentang mungkin dan perlunya sistem sosialisme dan
kapitalisme hidup berdampingan secara damai. Dengan demikian jelaslah, bahwa
untuk melaksanakan sosialisme di seluruh dunia, perang bukan hanya tidak
dibutuhkan, tetapi mesti dicegah dan dikutuk.
Apabila satu atau satu grup negeri kapitalis sudah mencapai
puncak perkembangannya, maka imbangan di dunia menjadi berubah. Negeri
kapitalis yang perkembangannya lebih cepat, membutuhkan lebih banyak
“Lebensraum” (ruang untuk hidup), padahal “Lebensraum” sudah selesai
dibagi-bagi pada akhir abad ke-19. Maka kekuasaan yang sudah mencapai puncak
perkembangannya berusaha untuk “memperbaiki” atau untuk “mengubah” imbangan
dengan membagi-bagi dunia kembali, dan ini sama artinya dengan mengadakan
perang baru. Untuk mengubah imbangan yang sudah rusak, imperialisme tidak
mempunyai jalan lain kecuali perang.
Selama dan sesudah perang dunia kedua produksi Amerika
Serikat meningkat dengan sangat cepat, sedangkan daerah pasar dan daerah bahan
mentah baginya bertambah sempit (terutama dengan bebasnya Tiongkok). Inilah
yang menyebabkan imperialis Amerika menjadi nekat untuk mendapatkan daerah
pasar dan daerah bahan mentah yang sekarang sudah dikuasai oleh Rakyatnya
sendiri atau dikuasai oleh negeri-negeri kapitalis yang lain dan ini pula
keterangannya mengapa Amerika memelopori persiapan perang dunia ketiga. Karena
bagi imperialis Amerika inilah satu-satunya jalan keluar.
Jadi, negeri-negeri kapitalis monopoli sangat berbeda dengan
negeri-negeri di mana kaum buruh dan Rakyat sudah berkuasa. Di negeri sosialis
tidak terdapat penghisapan kapitalis dan tidak mengenal kapital ekspor, dan
negeri-negeri demokrasi Rakyat adalah negeri-negeri sedang dalam pembangunan
sosialis, maka adalah sewajarnya jika negeri-negeri sosialis dan demokrasi
Rakyat tidak membutuhkan perang.
Demikianlah sedikit keterangan mengenai pertentangan kedua.
Mengenai pertentangan ketiga, yaitu pertentangan antara
bangsa penjajah dengan Rakyat jajahan dapat dijelaskan sebagai berikut:
Untuk melakukan eksploitasi yang tidak kenal malu atas
Rakyat jajahan, kapitalis monopoli terpaksa mengadakan jalan-jalan kereta api,
pabrik-pabrik, bengkel, perkebunan-perkebunan modern dan perusahaan-perusahaan
dagang. Juga administrasi pemerintahan harus dibikin teratur.
Dalam buku Sanusi Pane yang tersebut di atas, antara lain
diterangkan, bahwa perusahaan-perusahaan besar membutuhkan tenaga-tenaga juga
lebih pintar untuk pekerjaan tata usaha rendah dan pertukangan. Pemerintah
Belanda perlu juga memakai tenaga-tenaga yang begitu. Berhubung dengan itu
didirikanlah sekolah-sekolah rendah, kemudian sekolah-sekolah menengah pertama,
sekolah teknik, sekolah menengah tinggi, sekolah guru. Jumlah sekolah-sekolah
itu sedikit sekali, makin tinggi makin sedikit, sebab juga dipentingkan ialah
keperluan pemerintah Belanda dan perusahaan-perusahaan asing, bukan pendidikan
Rakyat. Yang tamat dalam tahun pengajaran 1938-1939 hanya 96.159 orang pada
sekolah rendah bumiputera dan 7.349 pada sekolah rendah Belanda-bumiputera,
sedangkan bagi sekolah Belanda angkanya 3.743. Anak Belanda jauh lebih sedikit
daripada anak Indonesia (penduduk Belanda dalam tahun 1930 kira-kira hanya
200.000 jiwa - DNA). Perbandingan ini makin jelek di sekolah-sekolah yang lebih
tinggi (Mulo dan AIMS buat anak Indonesia, IBS dan Lyceum buat anak Belanda).
Sekolah tinggi baru pada waktu akhir didirikan: Sekolah Tinggi Teknik, Sekolah
Tinggi Kedokteran, Sekolah Tinggi Hukum (sebelum itu ada sekolah-sekolah yang
bersifat menengah untuk kedokteran dan kehakiman). Buat pendidikan pegawai
Pamong Praja ada Osvia, kemudian Mosvia dan sekolah tinggi Sekolah Dokter Hewan
ada satu dan satu pula Sekolah Menengah Pertanian. Karena desakan perang dunia
kedua didirikan cepat-cepat beberapa sekolah tinggi (antara lain: untuk
pertanian dan kesusasteraan).
Kenyataan sebagai dierangkan oleh Sanusi Pane di atas
memperlihatkan, bahwa pengajaran bagi orang Indonesia terbelakang sekali. Hal
itu dapat dijelaskan lagi dengan jumlah orang yang tahu membaca dan menulis,
tidak lebih dari 7%.
Dari keterangan di atas, dapat ditarik kesimpulan, bahwa
imperialisme telah menimbulkan keadaan baru di Indonesia. Pabrik-pabrik gula,
karet, dan lain-lain serta pembuatan pelabuhan-pelabuhan, kereta api dan
bengkel-bengkel, membutuhkan tenaga kerja penduduk. Alat-alat pemerintah yang
makin meluas dan tumbuhnya perusahaan-perusahaan partikelir membutuhkan.
lapisan Rakyat yang mempunyai kecerdasan dan yang cakap menjabat pekerjaan yang
serba modern.
Walaupun kaum imperialis berusaha sekuat-kuatnya untuk
mempertahankan hubungan feodal di desa, agar bisa mendapat keuntungan yang
lebih besar dengan menggunakan cara feodal untuk mendapat tenaga murah, tetapi
pengaruh kapitalisme dapat juga mendobraknya. Sekalipun industri di Indonesia
hanya merupakan industri pembantu, tetapi ini pun sudah melahirkan kelas buruh,
yang menurut sewajarnya akan memimpin gerakan pembebasan Rakyat guna
menghancurkan imperialisme dan akhirnya juga melenyapkan sama sekali sistem
kapitalisme. Dalam tahun 1924 kaum buruh tetap di Indonesia telah mencapai
21.6% daripada penduduk kota-kota besar di Jawa (seperti kota-kota Jakarta,
Jatinegara, Bandung, Semarang dan Surabaya). Ini menunjukkan, bahwa kemajuan
industri di lima kota besar tersebut sudah mencapai tingkat yang agak tinggi.
Di kota-kota kecil di Jawa jumlah kaum buruh 19.8% daripada penduduk kota,
sedangkan di distrik-distrik di Jawa terdapat 2.4% daripada penduduk. Menurut
statistik tahun 1930, penduduk Indonesia yang hidup dari upah berjumlah lebih
kurang 6.000.000 (enam juta). Dalam jumlah ini sudah dimasukkan buruh musiman
yang sangat besar jumlahnya. Di antara yang enam juta ini terdapat setengah
juta buruh modern atau proletariat, yang terdiri dari: 316.200 buruh
transportasi, 153.100 buruh pabrik dan bengkel, 36.400 buruh tambang timah
kepunyaan pemerintah dan partikelir, 17.100 buruh tambang batubara kepunyaan
pemerintah dan partikelir, 29.000 buruh tambang minyak, 6.000 buruh tambang
emas dan perak kepunyaan pemerintah dan partikelir. Selainnya adalah buruh pabrik
gula, buruh perkebunan, berbagai golongan pegawai negeri (termasuk polisi dan
tentara), buruh industri kecil, buruh lepas, dan sebagainya. Perlu diterangkan
bahwa yang terbesar ialah jumlah buruh industri kecil (2.208.900) dan buruh
lepas (2.003.200).
Jadi jelaslah, bahwa kapitalis monopoli telah melahirkan
kelas proletar, melahirkan kaum intelektual bangsa Indonesia, membangunkan
kesadaran nasional dan memperkuat gerakan kemerdekaan. Keadaan ini juga
menggugah dan menggerakkan massa kaum tani yang sangat besar itu jumlahnya.
Dengan timbulnya kelas proletar berartilah timbulnya kelas baru yang paling
maju, paling berdisiplin dan paling konsekuen. Kelas inilah yang akan memberi
sifat yang baru kepada perjuangan Rakyat Indonesia, sifat yang berlainan daripada
waktu yang sudah.
Makin kuat gerakan revolusioner di negeri-negeri jajahan dan
setengah jajahan, bertambah besarlah artinya bagi proletariat dunia. Gerakan
revolusioner ini menggerogoti (ondermijnen) imperialisme secara mendalam dan membikin
tanah-tanah koloni dan setengah koloni, yang tadinya sebagai cadangan
imperialis, menjadi cadangan revolusi proletar.
Sejak Revolusi Oktober 1917 gerakan kemerdekaan dari
bangsa-bangsa jajahan melihat Soviet Uni sebagai guru dan pahlawan
kemerdekaan, dan dari Rakyat Soviet mereka melihat bahwa sebenarnya tidak ada bangsa
yang rendah derajatnya, dan bahwa bangsa kulit putih dan bangsa kulit
berwarna adalah sama, asal saja mereka mendapat kesempatan yang sama untuk
maju. Juga gerakan kemerdekaan bangsa Indonesia mendapat pengaruh dan pelajaran
dari Revolusi Rusia tahun 1917.
Demikianlah sedikit keterangan mengenai pertentangan ketiga.
ISDV sebagai pendorong perkembangan serikatburuh. Tahun 1919
berdiri vaksentral PPKB. Pemogokan buruh gula bulan Agustus 1920. Pada tanggal
23 Mei 1920 berdiri PKI. Tahun 1921 PPKB pecah menjadi dua, tetapi tahun 1922
kaum Komunis berhasil mempersatukannya kembali dalam PVH. Pemogokan buruh
pegadaian bulan Januari 1922 dan Pemogokan buruh kereta-api bulan Mei 1923.
Penyakit oportunis “Kiri” dalam gerakan buruh Indonesia. Pemberontakan kaum
tani tahun 1926-1927. Likuidasi-isme Tan Malaka. PVH lumpuh.
Pada permulaan abad ke-XX muncullah di Indonesia kelas-kelas
baru yang menyiapkan diri untuk memegang pimpinan perlawanan terhadap
penindasan yang dilakukan oleh imperialisme. Kenyataan menunjukkan, bahwa kelas
buruh Indonesia lebih dulu mengorganisasi diri secara modern daripada
kelas-kelas lain. Baru sesudah kaum buruh mulai mengorganisasi diri dalam tahun
1905, kaum intelektual bangsawan mengorganisasi diri dalam tahun 1908 (Budi
Utomo) dan kaum dagang dalam tahun 1911 (Serikat Dagang Islam yang
dalam tahun 1912 menjadi organisasi massa yang luas dengan nama Serikat
Islam).
Dalam gerakan buruh Indonesia yang lebih dulu mengorganisasi
diri ialah amtenar-amtenar dan pegawai-pegawai perusahaan pemerintah. Ini tidak
mengherankan, karena dari kalangan inilah terdapat angkatan baru yang telah
terpisah dari ikatan tradisi desa atau distrik, dan mereka mencontoh orang
Barat dalam mengorganisasi diri untuk menciptakan syarat-syarat hidup dan
syarat-syarat kerja yang lebih baik.
Dalam tahun 1905 berdirilah serikat buruh yang pertama
dengan nama SS-Bond. SS-Bond didirikan hanya untuk pegawai SS, dan
keanggotaannya tidak mengenal perbedaan bangsa. Ketiadaan pemimpin dari bangsa
Indonesia ketika itu, menyebabkan pimpinan dipegang oleh pegawai-pegawai SS
bangsa Belanda. SS-Bond bukan organisasi buruh yang militan, dengan demikian
tidak mungkin ia memenuhi keinginan kaum buruh.
Dengan berdirinya Vereniging van Spoor- en Trampersoneel
(VSTP) di Semarang tahun 1908, maka banyaklah anggota-anggota SS-Bond yang
pindah ke VSTP, dan ini akhirnya menyebabkan SS-Bond mesti gulung tikar. SS
tidak mau mengakui pengurus VSTP sebagai wakil buruh. Untuk berhadapan dengan
SS dalam tahun 1912 dibentuk apa yang dinamakan “grup perwakilan”, akan tetapi
karena hasil perundingan dengan SS senantiasa tidak memuaskan, hilanglah
kepercayaan kaum buruh akan manfaat “grup perwakilan” semacam itu, dan
menimbulkan keyakinan pada kaum buruh bahwa tiap-tiap perundingan mesti
disertai kekuatan yang dapat memaksa majikan mengabulkan tuntutan kaum buruh.
Dengan datangnya seorang Belanda totok H.J.F.M.
Sneevliet (1883-1942, ia mati ditembak nazi-Jerman di negeri Belanda) di
Semarang tahun 1913, dan ia datang sebagai sekretaris suatu perkumpulan dagang.
VSTP mendapat bantuan yang sangat besar artinya, karena Sneevliet adalah
seorang propagandis yang bisa dipercaya oleh gerakan revolusioner dan seorang
yang mengerti soal-soal serikatburuh. Walaupun kemudian ternyata, bahwa
Sneevliet menyeleweng dari Marxisme, ia dihinggapi oleh penyakit “Kiri”,dan ini
memang sangat berpengaruh pada gerakan revolusioner Indonesia dan
terutama pada PKI, tetapi ia adalah seorang yang memulai menanamkan kesadaran
sosialis pada pemimpin-pemimpin Rakyat Indonesia. Pengaruh Sneevliet besar atas
VSTP, dan dalam perkembangan selanjutnya Sneevliet adalah seorang pemimpin VSTP
yang penting.
Dengan teman-teman sepahamnya bangsa Belanda, antara lain
J.A. Brandsteder, P. Bergsma dan H.W. Dekker, dalam bulan Mei 1914 di Semarang
didirikannya ISDV (de Indische Sociaal Democratisehe Vereniging) yang
bertujuan menyebabkan Marxisme di kalangan kaum buruh dan Rakyat Indonesia.
Dalam ISDV terhimpun tenaga-tenaga intelektual bangsa Indonesia dan Belanda,
dan ISDV adalah tempat di mana bangsa Indonesia mulai belajar Marxisme. Anggota
ISDV tidak banyak, akan tetapi giat dan cerdas, dan dengan anggotanya yang
tidak banyak itu ISDV dapat merasuk ke tengah-tengah Rakyat Indonesia dan
dengan demikian dapat mempengaruhi organisasi lain. ISDV berpengaruh atas SI
(Serikat Islam), dan dengan sendirinya atas serikat buruh-serikat buruh yang
dipimpin oleh orang-orang SI. ISDV berusaha keras untuk mendirikan dan
mempersatukan serikat buruh-serikat buruh. ISDV melahirkan pemimpin-pemimpin
revolusioner bangsa Indonesia, dan sayap kiri dari ISDV inilah yang kemudian
memelopori berdirinya Partai Komunis Indonesia (PKI) dalam tahun
1920. Tulisan Sneevliet dalam harian Semarang “De Indier” tanggal 19 Maret
1917, dengan nama “Zegepraal” (“Kemenangan”), yang memuji Revolusi Rusia bulan
Februari 1917 dan yang menganjurkan kepada Rakyat Indonesia supaya mengambilnya
sebagai teladan, telah menyebabkan Sneevliet dituntut dan ini dijadikan alasan
oleh perkumpulan dagang dimana ia bekerja untuk mengeluarkan Sneevliet dari
pekerjaannya. Tetapi justru ini yang lebih mendekatkan Sneevliet kepada Rakyat
Indonesia, karena kemudian ia sepenuhnya mengabdikan diri pada VSTP sebagai
sekretaris dan propagandis, dan dia pun hidup dari VSTP.
Sesudah ISDV didirikan, di mana-mana timbul serikat
buruh sebagai jamur di musim hujan. Dalam tahun 1916 pegawai bangsa
Indonesia dari Jawatan Pegadaian Negeri mengorganisasi diri dalam serikat buruh
pegadaian dengan nama PPPB (Perserikatan Pegawai Pegadaian Bumiputera). Kejadian
ini ialah tiga tahun sesudah pegawai-pegawai bangsa Belanda membentuk
perkumpulannya sendiri.
Dalam waktu yang hampir bersamaan dengan berdirinya PPPB, didirikan
serikat buruh BOW (Burgelijke Openbare Werken, Pekerjaan Umum) dengan nama
VIPBOW (Vereniging Inheemse Personeel BOW); juga didirikan serikat
buruh guru bangsa Indonesia seperti PGHB (Perserikatan Guru Hindia
Be1anda), PGB (Perhimpunan Guru Bantu) dan PGAS (Perserikatan Guru
Ambachtsschool); buruh jawatan candu berserikat dalam de “Opiumregiebond
van Nederlands-Indie” (1915) dan de “Opiumregiebond Luar Djawa-Madura” (1917);
buruh douane berserikat dalam Perhimpunan Bumiputera Pabean dan
banyak lagi serikat buruh yang kecil-kecil. Sebagian besar dari serikat
buruh-serikat buruh ini diakui sebagai “rechtpersoon”.
Pada umumnya yang menjadi anggota-anggota serikat
buruh-serikat buruh yang disebutkan di atas ialah buruh-buruh rendahan, karena
pada waktu itu boleh dikata sangat jarang orang Indonesia menduduki tempat yang
penting dalam jawatan. Dan jika ada yang menduduki tempat yang penting, maka ia
pun memisahkan diri dari masyarakat bangsanya sendiri dan dalam pergaulannya
menggolongkan diri pada orang-orang Barat.
Adanya kehidupan berserikat secara modern dalam masyarakat
Indonesia, seperti yang tumbuh di kalangan pegawai-pegawai negeri, menggugah
golongan-golongan buruh partikelir untuk juga mengorganisasi diri dalam serikat
buruh. Demikianlah dalam tahun 1919 di Jogja didirikanPFB (Personeel Fabrieks
Bond) yang mula-mula hanya bertujuan memberi bantuan kepada keluarga buruh
pabrik gula di Jogja. Tetapi kemudian PFB meluas ke seluruh Jawa dan tujuannya
juga diperluas, tidak lagi hanya terbatas memberi bantuan pada keluarga.
Pemimpin PFB yang terkemuka yaitu Raden Mas Surjopranoto, terkenal
dengan julukan “stakingskoning” (“raja-pemogok”), karena di bawah pimpinan PFB,
dalam tahun 1920 telah terjadi pemogokan besar yang diikuti oleh ratusan ribu
kaum buruh gula.
Sejak tahun 1916 ISDV sudah mengusahakan berdirinya
vaksentral (gabungan serikat buruh-serikat buruh). ISDV berpendapat, bahwa
perlawanan terhadap kaum kapitalis akan lebih mudah diatur dan akan lebih hebat
pukulannya jikalau kaum buruh Indonesia sudah tergabung dalam vaksentral. Oleh Semaun, seorang
murid Sneevliet yang militan ketika itu, setelah usahanya gagal untuk membentuk
vaksentral dengan melalui VSTP, pada pertengahan tahun 1918 sekali lagi
diusahakannya dengan mengundang pengurus-pengurus serikatburuh ke Semarang.
Masalah yang hangat ketika itu antara lain ialah soal “duurtetoeslag”. Tetapi
juga usaha tahun 1918 ini tidak mencapai hasil, karena yang mengirimkan wakil
cuma VSTP (di mana Semaun sendiri yang menjadi pemimpinnya) dan PPPB. Serikat
buruh lain kelihatannya belum berani mengikuti jejak orang-orang ISDV yang
sudah terang bertentangan dengan pemerintah kolonial.
Kemenangan Revolusi Oktober Rusia tahun 1917 menimbulkan
keyakinan dan kegembiraan yang lebih besar di kalangan ISDV dalam mengadakan
agitasi dan propaganda tentang revolusi dan sosialisme. Dengan dibantu oleh
Brandsteder, yaitu sekretaris daripada organisasi pegawai marine dan redaktur
suratkabar serdadu dan matros, Sneevliet juga mengadakan propaganda di kalangan
serdadu dan matros. Dengan demikian semangat perlawanan juga timbul di kalangan
angkatan bersenjata. Atas anjuran Sneevliet di Surabaya dibentuk semacam
Soviet, yaitu “Dewan Matros dan Marine”, dan kepada serdadu-serdadu dianjurkan
untuk juga membentuk dewan semacam itu. Kegiatan-kegiatan ini dianggap
berbahaya oleh pemerintah Hindia Belanda. Karena itulah Sneevliet diusir dari
Indonesia berdasarkan putusan Pemerintah 5 Desember 1918. Kemudian juga
kawan-kawannya diusir, antara lain Brandsteder, Bergsma, Baars, dan lain-lain.
Tetapi pengusiran-pengusiran ini tidak banyak artinya, karena dari kalangan
bangsa Indonesia sudah timbul pemimpin-pemimpin yang revolusioner.
Usaha-usaha sesudah tahun 1918 menunjukkan hasil-hasil yang
baik dalam usaha membentuk vaksentral. Dalam kongres PPPB di Bandung dalam
bulan Mei 1919 pemimpin SI RadenSosrokardono, yang juga menjadi
pemimpin PPPB, menganjurkan supaya semua serikat buruh digabungkan secara
federatif dalam satu badan sentral, jadi menganjurkan adanya vaksentral. Dalam
kongres ini ada persesuaian pendapat antara Semaun dan Sosrokardono, yaitu
tentang perlunya ada vaksentral dan tentang tujuan gerakan buruh untuk mencapai
pemerintah sendiri, dan mengubah masyarakat kapitalis menjadi masyarakat
sosialis.
Tentang anjuran-anjuran dalam kongres PPPB di Bandung, juga
dijelaskan oleh Surjopranoto dalam kongres SI keempat di Surabaya, tetapi
dengan interpretasinya sendiri. Surjopranoto antara lain menerangkan, bahwa
kemenangan perjuangan kelas dalam membikin alat produksi menjadi milik umum
tidak harus dicapai dengan aksi-aksi bersenjata, tetapi dengan paksaan batin,
dengan perundingan di muka ramai dan jika perlu dengan pemogokan. Selanjutnya
diterangkannya, bahwa serikat buruh akan menjadi Eerste Kamer dari perwakilan
Rakyat, di mana duduk wakil-wakil serikat buruh dan serikat tani; sedangkan
Tweede Kamer merupakan perwakilan partai-partai politik. Kedua kamer inilah
yang akan merupakan “Dewan Rakyat sesungguhnya”, dan dengan ini dapat beraksi
menentang modal dan penjajahan asing.
Walaupun ada perbedaan-perbedaan pendapat, tetapi ISDV
maupun SI pada waktu itu sependirian tentang perlunya ada satu vaksentral. SI
mengusulkan nama PPKB (Persatuan Pergerakan Kaum Buruh) sedangkan
kaum sosialis kiri dari ISDV menginginkan nama Revolutionare
Socialistische Vakcentrale. Tentang nama ini kaum sosialis kiri akhirnya
mengalah dan menerima nama PPKB. Akhir Desember 1919, jadi tidak lama sesudah
akhir perang dunia I, dalam pertemuan wakil-wakil serikat buruh di Yogyakarta,
berdirilah vaksentral PPKB, di mana di dalamnya tergabung serikat buruh-serikat
buruh yang di bawah pengaruh ISDV dan SI. Dalam pertemuan ini juga dibentuk komisi
yang diwajibkan menyusun Peraturan Dasar vaksentral, yang antara lain terdiri
dari pemuka-pemuka kaum buruh seperti Surjopranoto, Sosrokardono, Alimin dan
Reksodiputro. Komisi ini mengadakan rapat-rapatnya di kota Bandung, kota
dingin.
Keadaan sesudah perang sangat menguntungkan kapitalis besar
asing karena sangat banyak permintaan luar negeri akan barang-barang ekspor
Indonesia. Sebagai contoh, perseroan dagang bangsa Belanda, Handelsvereniging
Amsterdam (HVA) telah dapat mengeluarkan 50% dividen untuk tahun 1919, dan 60%
untuk tahun 1920. Harga gula meningkat luar biasa, dari f. 5.25 per-pikul dalam
bulan Juli 1918 menjadi f. 66.-- dalam bulan Mei 1920; kopi Robusta dari f.
16.12 per-pikul dalam bulan Juli 1918 menjadi f. 76.25 dalam bulan
November 1919. Tetapi sebaliknya bagi Rakyat, tahun-tahun pertama sesudah
perang berarti musim kelaparan. Kemiskinan berjangkit, kesukaran memuncak,
sedang ketidak-senangan Rakyat terus bertambah, terutama tidak senang pada
bangsa Eropa. Upah riil kaum buruh sangat turun karena naiknya harga
barang-barang impor, termasuk barang-barang keperluan sehari-hari, sedangkan
upah tidak ikut naik atau naiknya tidak sepadan dengan naiknya harga barang.
Dalam tahun sesudah perang terjadilah beberapa pemogokan dan
percobaan pemogokan, sebagian di luar percampuran PPKB.
Keadaan upah yang sangat buruk menyebabkan pengurus PFB
merencanakan aksi buruh gula. Dalam bulan Maret 1920 pengurus PFB menyampaikan
surat edaran kepada direksi dan administrasi onderneming-onderneming dan kepada
sindikat-sindikat gula, di mana diajukan permintaan supaya PFB diakui sebagai
wakil buruh, dan bersamaan dengan itu juga dituntut perbaikan upah bagi buruh
yang nasibnya sangat celaka. Di mana-mana terjadi pemogokan besar-besaran, yang
diikuti oleh ratusan ribu buruh gula, di Jawa Timur dan Jawa Tengah, umumnya di
perusahaan gula HVA. Pemogokan yang hebat ini telah memaksa sindikat-sindikat
gula mengadakan kontak dengan pihak buruh untuk berunding. Semaun dari
vaksentral PPKB memerintahkan supaya pemogokan dihentikan. Akan tetapi
Surjopranoto tidak mau menaati perintah PPKB dan terus mengadakan
agitasi-agitasi untuk melanjutkan aksi. Malah pada 9 Agustus 1920 dikeluarkan
ultimatum untuk mengadakan mogok umum. Oleh pemerintah Hindia Belanda agitasi
Surjopranoto ini dianggap membahayakan apa yang dinamakannya “ketertiban umum.”
Larangan mengadakan aksi dikeluarkan, karena menurut pemerintah aksi ini “bukan
untuk perbaikan nasib kaum buruh, tetapi sebetulnya aksi politik untuk
mengadakan perusuhan”. Tetapi yang lucu, yang membuktikan bahwa aksi-aksi kaum
buruh adalah aksi perbaikan nasib, ialah bahwa bersamaan dengan larangan
mengadakan aksi pemerintah juga “mengingatkan majikan untuk sebaiknya menambah
upah buruh”. Pemerintah meletakkan tanggung jawab pada pengurus PFB jika
kejadian pemogokan umum, Akhirnya, Surjopranoto kena delik dalam bicara dan
dihukum dua bulan, tetapi ini sudah cukup lama untuk membikin PFB menjadi
lumpuh sejak bulan Agustus 1920.
Meletusnya Revolusi Sosialis Oktober tahun 1917 di Rusia dan
menangnya revolusi ini, memberi inspirasi, kesadaran dan pandangan baru pada
Rakyat Indonesia, terutama pada kaum buruh dan pada kaum intelektual Indonesia
yang paling maju. Revolusi Sosialis Oktober sangat memengaruhi ISDV. Revolusi
Oktober tidak hanya merupakan suluh dan harapan bagi Rakyat Indonesia, tetapi
ia juga memberi pelajaran pada Rakyat dan kelas buruh Indonesia tentang
lahirnya suatu Partai tipe baru, yaitu bentuk tertinggi daripada organisasi
kelas dari proletariat yang bersenjatakan Marxisme-Leninisme, yang mempunyai
anggota dari kelas pekerja yang paling sedar, yang mempunyai disiplin baja yang
sangat kuat, yang memakai metode self-kritik dan yang berhubungan erat dengan
massa. Partai ini adalah partainya Lenin, Partai Komunis. Dalam rapat tahunan
ISDV yang ke-7, yang diadakan di gedung SI Semarang pada tanggal 23 Mei 1920,
atas usul cabang Semarang., ISDV dilebur menjadi PKI. Usul ini diterima boleh
dikata dengan suara bulat (33 setuju, 1 blangko dan 2 tidak setuju). Anggota
Pengurus Besar harian yang pertama terdiri dari: Semaun, ketua; Darsono,
wakil-ketua; Bergsma, sekretaris; Dekker, bendahara; dan Baars.
Anggota Pengurus Besar di luar Semarang ialah J. C. Stam di Tuban, Dengah dan C.
Kraan di Surabaya dan Sugono di Bandung. Untuk redaktur majalah
Partai “Het Vrije Woord” (dalam bahasa Belanda) ditetapkan Baars dan Bergsma,
sedangkan untuk “Suara Rakyat” ditetapkan Darsono dan Dengah. Dalam bulan
Desember tahun 1920 itu juga PKI menggabungkan diri pada Komintern (Komunis
Internasional).
Berdirinya PKI pada tanggal 23 Mei 1920 adalah sangat
penting bagi kelas buruh Indonesia, karena sejak itulah kelas buruh Indonesia
mempunyai Partainya sendiri. Untuk gerakan kemerdekaan nasional, berdirinya PKI
juga mempunyai arti yang sangat besar, karena dalam perjuangan selanjutnya
dibuktikan, bahwa PKI tidak hanya memimpin dan memperjuangkan kepentingan kelas
buruh, tetapi juga memimpin dan memperjuangkan kepentingan-kepentingan
kelas-kelas lain, sehingga PKI merupakan Partai yang berdiri di depan dalam
perjuangan nasional untuk menghapuskan imperialisme dan feodalisme di
Indonesia.
Kongres PPKB yang pertama diadakan di Semarang pada tanggal
1 Agustus 1920. Kongres ini dihadiri oleh 22 serikat buruh, dengan anggota
seluruhnya 72.000. Dalam kongres ini mulai kelihatan pertentangan antara aliran
revolusioner yang diwakili oleh kaum Komunis dan aliran reformis yang diwakili
oleh beberapa pemimpin SI. Semaun dan kawan-kawannya menyesali Surjopranoto yang
dalam aksi melawan pabrik gula telah mengecilkan rol daripada vaksentral, dan
tidak menghubungkan aksi-aksi buruh gula dengan soal-soal politik menghantam
penjajahan. Surjopranoto menyatakan keberatannya jika vaksentral mencampuri
soal-soal dalam PFB. Dalam kongres ini juga menjadi perbincangan hangat tentang
tempat kedudukan vaksentral. Kaum Komunis menghendaki supaya berkedudukan di
Semarang, sedang orang-orang SI menghendaki di Jogja, yaitu kota pusat SI.
Diputuskan untuk sementara tempat kedudukan PPKB di Jogja, di mana bertempat
tinggal 4 dari 7 pengurus besar PPKB. Susunan pengurus PPKB sesudah kongres
ialah Semaun sebagai Ketua, R.M. Surjopranoto sebagai Wakil Ketua dan Hadji
Agus Salim sebagai Sekretaris.
Kaum Komunis mempunyai pengaruh yang sangat besar di dalam
PPKB. Dalam hal ini besar sekali rol dari VSTP yang militan itu. Sejak mulai
berdirinya, PPKB sudah dihadapkan dengan pekerjaan yang banyak, karena di
mana-mana timbul pemogokan-pemogokan.
Dalam bulan Agustus 1920 itu juga pada maskapai SCS
(Semarang-Cheribon-Stoomtram Maatschappij) timbul konflik antara buruh dengan
maskapai. Segera VSTP menyampaikan ultimatum pada direksi maskapai. Direksi
menyanggupi memberikan syarat-syarat kerja yang sama seperti yang berlaku bagi
pegawai SS, tetapi maskapai menolak tuntutan-tuntutan VSTP yang lain. VSTP menganggap
putusan direksi ini tidak cukup, dan menuntut kenaikan upah serta 8 jam kerja
sehari. Suasana menjadi hangat, dan dalam keadaan demikian timbul provokasi,
yaitu pecahnya pemogokan di seluruh jalan kereta api Semarang-Cirebon dengan
tidak setahu VSTP. Tetapi pengaruh VSTP atas kaum buruh sangat besar, dan
dengan tindakan yang diambil VSTP pemogokan bisa dihentikan dengan segera.
Juga di Sumatera Timur pada permulaan September 1920 timbul
pemogokan di kalangan kaum buruh kereta api DSM (Deli Spoor Maatschappij), yang
juga menuntut kenaikan upah. Aksi mogok ini juga menjalar sampai kepada buruh
BPM (Bataafse petroleum Maatschappij) di Pangkalan Brandan. Dengan dipenuhinya
tuntutan buruh, segera pemogokan berhenti.
Dalam bulan November 1920 terjadilah sejumlah konflik
perburuhan di Surabaya. Atas usaha pemimpin-pemimpin dari PFB dapat
diorganisasi buruh penjahit, buruh pelabuhan dan buruh perusahaan teknik, dan
serikat-buruh-serikat buruh ini digabungkan ke dalam vaksentral setempat.
Tuntutan kenaikan upah ditolak oleh majikan, menyebabkan pecahnya
pemogokan-pemogokan di berbagai perusahaan. Pemogokan-pemogokan ini ada juga
mengakibatkan penutupan perusahaan-perusahaan (lockouts), sampai tuntutan kaum
buruh dikabulkan, dan ada yang memakan waktu sampai dua bulan. Baru pada akhir
Desember 1920 kaum buruh perdagangan dan industri di Surabaya bekerja kembali,
dan keadaan ini membikin ramai kembali kehidupan perusahaan yang tadinya
dibikin sunyi oleh pemogokan.
Pemogokan-pemogokan dalam tahun 1920 umumnya berakhir dengan
kemenangan kaum buruh. Kemenangan-kemenangan ini memberikan semangat dan
kegembiraan berjuang pada kaum buruh, mendidik kaum buruh akan pentingnya
organisasi dan disiplin, dan membukakan pada kaum buruh dan Rakyat umumnya
kebobrokan daripada peraturan perburuhan kolonial dan pemerintah kolonial.
Karena aksi-aksi kaum buruh pemerintah terpaksa membicarakan soal upah minimum
bagi kaum buruh. Untuk ini oleh pemerintah dibentuk satu Komisi
Perburuhan. Tetapi setelah Komisi ini memberikan laporannya pada akhir
Juni 1920, pemerintah kemudian menyatakan pendapatnya, bahwa laporan itu “lebih
bersifat menyatakan keinginan-keinginan teoritis dari Komisi daripada
menyatakan apa yang mungkin dalam praktek”. Menurut pemerintah, peraturan upah
minimum yang diusulkan oleh Komisi adalah “secara teori tidak bisa
dipertahankan dan dalam praktek tidak bisa dilaksanakan”. Dengan perkataan
lain, pemerintah tidak bertindak apa-apa untuk perbaikan nasib buruh.
Kemajuan-kemajuan yang dicapai oleh gerakan buruh membikin khawatir
pihak pemerintah. Yang lebih mengkhawatirkan lagi ialah, bahwa pengaruh kaum
Komunis dalam serikat buruh-serikat buruh makin lama makin besar. Dengan
melalui orang-orangnya pemerintah Hindia Belanda berusaha memecah belah gerakan
buruh, dan mempengaruhi aliran-aliran tertentu dalam SI. Dengan segala jalan
pemerintah Hindia Belanda mempertajam pertentangan antara kaum Komunis (PKI)
dengan golongan Islam (SI) untuk memecah PPKB. Aliran reformis dalam PPKB
dengan sendirinya mendapat sokongan dan dorongan dari pemerintah Hindia
Belanda. Dengan demikian pertentangan antara aliran revolusioner dengan aliran
reformis makin lama makin tajam dalam PPKB.
Atas usul VIPBOW dengan maksud untuk -meredakan
pertentangan-pertentangan yang ada dalam PPKB, pada tanggal 18-20 Juni 1921, di
Jogja diadakan rapat umum yang dihadiri oleh semua anggota-anggota PPKB. Tetapi
dalam rapat ini, pertentangan bukan makin reda, tetapi malahan menjadi lebih
tajam dan lebih terang. Di satu pihak kaum Komunis belum mampu menjalankan taktik
yang tepat untuk menggalang front persatuan buruh yang luas, dan di pihak lain
orang-orang seperti Haji Agus Salim cs. dan pembesar-pembesar PID (jawatan
penyelidik politik Hindia Belanda) dengan segala jalan menggunakan tiap-tiap
kesempatan untuk menimbulkan kekacauan dan perpecahan. Dalam rapat ini PPKB
pecah menjadi dua, di satu pihak “golongan Semarang” yang dipimpin oleh kaum
revolusioner, dan di pihak lain “golongan Jogja” yang dipimpin oleh kaum
reformis Hadji Agus Salim cs.
Di bawah pimpinan kaum Komunis didirikan vaksentral baru
dengan nama Revolutionaire Vakcentrale, yang berkedudukan di Semarang.
Dalam RV ini tergabung 14 serikat buruh, di antaranya VSTP, serikat buruh
pelabuhan, tambang, supir, percetakan, penjahit, dan sebagainya, dengan VSTP
sebagai tulang punggungnya. RV dipimpin antara lain oleh Semaun, P. Bergsma,
Najoan, dan lain-lain.
Surjopranoto bersama Haji Agus Salim meneruskan aktivitasnya
dengan nama PPKB di Jogja, dengan PPPB sebagai tulang punggungnya.
Kaum Komunis berhasil menarik serikat buruh-serikat buruh
yang penting, seperti VSTP, serikat buruh pelabuhan, tambang, dan sebagainya ke
dalam RV, tetapi dua serikat buruh yang besar dan penting, yaitu serikat buruh
gula (PFB) dan PPPB, tidak dapat ditariknya kedua serikat buruh ini berada
dalam pimpinan kaum reformis. Demikian juga serikat buruh guru berada dalam
pimpinan kaum reformis. Keadaan ini mempunyai pengaruh pada gerakan, buruh
selanjutnya.
Dalam bulan Agustus 1921 terjadi pemogokan buruh pelabuhan
di Surabaya, ialah sebagai perlawanan terhadap majikan yang mau menurunkan upah
buruh. Kejadian ini segera dicampuri oleh RV dengan mengirimkan Semaun ke
Surabaya.
Pada tanggal 11 Januari 1922 terjadi pemogokan buruh
pegadaian di bawah pimpinan PPPB (anggota PPKB), mula-mula di Jogja tetapi dua
minggu kemudian menjalar ke beberapa daerah di Jawa. Berbeda dengan
pemogokan-pemogokan lain yang sudah diterangkan di atas, pemogokan ini bukan
karena soal upah, tetapi disebabkan oleh sikap pegawai atasan bangsa peranakan
Belanda yang bertindak sewenang-wenang terhadap pegawai Indonesia. Dengan
perkataan-perkataan yang tidak menyenangkan, pegawai-pegawai atasan yang
umumnya terdiri dari bangsa Belanda menyuruh pegawai-pegawai bangsa Indonesia
mengerjakan pekerjaan-pekerjaan yang dianggap hina, misalnya disuruh mengangkat
barang-barang yang akan dilelang ke dalam los. Pegawai menuntut supaya ada
pesuruh yang khusus untuk mengangkat barang-barang itu, dan menuntut supaya di
kalangan pegawai, juga oleh pegawai atasan, dipergunakan bahasa Jawa Dipo yang
demokratis. Tuntutan-tuntutan ini tidak mendapat perhatian, dan inilah yang
menyebabkan pemogokan besar-besaran. 79 dari 360 rumah gadai ambil bagian dalam
pemogokan ini. Untuk menindas pemogokan ini, pemerintah Hindia Belanda
menggunakan ketentuan hukuman jabatan, artinya kepala-kepala pegadaian begitu
saja bisa memberhentikan pegawai yang dianggap “menolak pekerjaan” atau
“mengadakan tentangan”. Dengan demikian kaum pemogok, sejumlah kira-kira 1.000
orang, yaitu 20% daripada seluruh pegawai jawatan pegadaian, dipecat dari
pekerjaannya.
Aksi kaum buruh pegadaian yang hebat ini mengalami
kegagalan, karena pemimpin PPPB yang reformis tidak memberikan tuntunan yang
tegas. Pemimpin-pemimpin terlalu banyak berusaha ke atas, misalnya beraudiensi
kepada pembesar-pembesar negeri, dan kurang mengorganisasi serta membangunkan
semangat kaum pemogok. Kesalahan yang besar lagi ialah, bahwa kaum pemogok
tidak dikumpulkan secara teratur untuk diberi penjelasan tentang jalannya dan
hasilnya perundingan serta bagaimana sikap pemogok selanjutnya. Ketika kaum
pemogok dipecat dari pekerjaannya, samasekali tidak ada petunjuk dari pimpinan
apa yang harus mereka lakukan selanjutnya; dengan putusan sendiri-sendiri ada
yang pergi ke desa untuk bertani, ada yang berdagang, ada yang mencari
pekerjaan lain, dan sebagian mengabdikan diri sepenuhnya pada organisasi
revolusioner. Keadaan yang tidak teratur ini, oleh reaksi dan kaum reformis
kemudian dipergunakan untuk menakuti kaum buruh, terutama buruh pegadaian, agar
tidak berani mengadakan aksi.
Hal yang sangat baik ialah, bahwa dalam menghadapi pemogokan
buruh pegadaian yang ditindas oleh pemerintah Hindia Belanda, baik pihak RV
maupun pihak PPKB, kedua-duanya mengeluarkan pernyataan tentang betapa
pentingnya pemogokan ini dan menyerukan supaya seluruh kaum buruh Indonesia
menyokong pemogokan, dan dinyatakan juga supaya kaum buruh bersiap-siap agar
sewaktu-waktu diperlukan bisa mengadakan pemogokan umum. Di berbagai tempat di
organisasi rapat-rapat penerangan dimana juga dijelaskan kebobrokan pemerintah
kolonial. Pemerintah menganggap ini sudah “keterlaluan” dan berpendapat bahwa
hak berapat sudah digunakan tidak sebagaimana mestinya. Aktivitas kaum buruh
dianggap mengganggu “ketertiban umum” dan atas dasar inilah di daerah Yogyakarta
hak berapat dipersempit. Di samping itu, beberapa pemimpin buruh, antara lain
P. Bergsma, dipisahkan dari gerakan buruh Indonesia dengan jalan
mengeluarkannya dari Indonesia.
Semaun tidak ikut serta dalam memimpin pemogokan pegadaian,
karena dalam bulan Oktober 1921 dia pergi ke luar negeri untuk menghadiri
kongres kaum buruh Timur Jauh di Moskow, di mana dibicarakan juga tentang
organisasi-organisasi buruh di negeri-negeri jajahan, dan setengah jajahan. Dia
baru datang pada akhir Mei 1922.
Sepulangnya Semaun dari luar negeri, PKI bertambah giat lagi
berusaha mempersatukan kaum buruh Indonesia, dan dalam pekerjaannya PKI lebih
berhati-hati. Di kalangan PKI mulai dibicarakan tentang pentingnya
memperhatikan sifat-sifat khusus daripada revolusi Indonesia, bahwa tiap-tiap
negeri mempunyai jalan-jalannya sendiri dalam menuju ke Komunisme, dihubungkan
dengan perkembangan ekonomi, politik, kebudayaan dan tradisi Rakyat tiap-tiap
negeri. Tetapi ternyata kemudian, bahwa soal memperhatikan sifat-sifat khusus revolusi
Indonesia masih belum konsekuen diperhatikan, dan kesalahan-kesalahan
yang bersifat “kiri” masih terus dibikin (antara lain putusan Kongres PKI tahun
1924 di Jogja, dan laporan Semaun pada pleno Komintern tahun 1925).
Atas inisiatif anggota-anggota PKI, pada tanggal 25 Juni
1922 di Surabaya diadakan rapat bersama dari serikat buruh-serikat buruh, di
mana dalam rapat itu dinyatakan perlunya diadakan fusi antara Revolutionaire
Vakcentrale dengan PPKB. Usaha ini berhasil, dengan tercapainya fusi dalam rapat
yang sengaja diadakan untuk itu di Madiun pada tanggal 3 September 1922.
Demikianlah perpecahan dalam gerakan buruh bulan Juni 1921, sebagai hasil
pekerjaan memecah belah dari elemen-elemen reaksioner, dapat kembali
dipersatukan atas usaha kaum Komunis dalam satu vaksentral yang diberi nama PVH
(Persatuan Vakbond Hindia). Dalam PVH tergabung VSTP, PPPB, PFB,
Kweekschoolbond, PGB (Perhimpunan Guru Bantu), dan lain-lain, serikat buruh,
pemerintah maupun partikelir, dan seluruhnya meliputi 20.000 anggota.
Sasaran yang pertama dari PVH ialah maklumat pemerintah
tentang akan dicabutnya tambahan upah karena kemahalan, yang telah berjalan
beberapa tahun. Alasan pemerintah ialah untuk menghemat belanja pemerintah.
Seluruh kaum buruh bersatu dalam menghadapi tindakan pemerintah ini.
Keadaan upah kaum buruh dalam tahun krisis 1922 adalah
sangat buruk. Ini menyebabkan timbulnya desakan yang sangat keras dari kaum
buruh untuk mengadakan pemogokan, dan dalam berbagai kongres soal mogok menjadi
pembicaraan yang hangat. Dalam menghadapi desakan kaum buruh semacam ini,
pemimpin-pemimpin reformis menunjukkan tidak setianya kepada kepentingan kaum
buruh dan mencari jalan untuk selamat sendiri. Dengan demikian kaum buruh
mengenal siapa pemimpinnya yang sejati dan siapa yang bukan.
Dalam Kongres PPPB, bulan Agustus 1922 di Ambarawa, soal
mogok juga menjadi pembicaraan yang hangat. Dalam kongres ini ditekankan oleh
pemimpin-pemimpin reformis dari SI yang duduk dalam PPPB supaya jangan sampai
diadakan pemogokan, karena pemogokan hanya akan membikin lebih celaka nasib
kaum buruh. “Lihatlah pengalaman pemogokan yang kalah bulan Agustus 1921”,
demikian kata pemimpin-pemimpin reformis. Kongres PPPB kali ini sangat tidak
memuaskan para pengunjung kongres, karena dalam keadaan di mana nasib kaum
buruh berada dalam ancaman, pemimpin tidak memberikan jalan dan pembelaan.
Mereka hanya memberikan jalan sebagai yang diinginkan oleh majikan, yaitu
supaya tidak mogok.
Sebaliknya dalam lingkungan VSTP kaum Komunis mendapat
pengaruh yang lebih besar. Tentang maksud pemerintah untuk mencabut tambahan
upah karena kemahalan dan tentang maklumat pemerintah mengenai penghematan
menjadi pembicaraan yang hangat dalam rapat-rapat kaum buruh kereta api.
Juga dalam kongres PVH di Semarang pada akhir Desember 1922,
dan dalam rapat pimpinan serikat buruh-serikat buruh di Surabaya pada akhir
tahun itu juga, soal pemogokan menjadi pembicaraan hangat.
Bulan Januari 1923 VSTP mengeluarkan surat sebaran yang
berisi pernyataan akan mengadakan pemogokan jika peraturan pemerintah tentang
penghematan dijalankan. Ini masuk akal, karena jika terjadi penghematan maka
akan terjadi Massa-ontslag. Surat sebaran ini dibagikan dan ditempelkan di
stasiun serta dibaca oleh kaum buruh dengan penuh perhatian. Dalam rapat umum
VSTP bulan Februari 1923 soal pemogokan dibicarakan, dan dalam rapat ini
diingatkan kepada direksi-direksi maskapai spoor dan tram supaya “tidak bermain
dengan api”.
Dalam kongres VSTP tanggal 3-4 Maret 1923 diputuskan bahwa
VSTP menggabungkan diri pada Gabungan Serikatburuh Internasionale (Profintern).
Ini adalah langkah untuk menghubungkan aksi-aksi kaum buruh Indonesia dengan
kaum buruh sedunia, untuk menanamkan solidaritas internasional pada kaum buruh
Indonesia, bahwa perjuangan kaum buruh Indonesia adalah sebagian daripada
perjuangan kaum buruh sedunia. Dalam kongres VSTP ini Semaun mendapat kekuasaan
untuk mengadakan perundingan-perundingan dulu dengan pembesar-pembesar kereta
api sebelum mengadakan pemogokan. Di sini kelihatan tindakan yang hati-hati dari
pihak VSTP, tidak gegabah dalam mengadakan aksi-aksi. Tetapi pemimpin VSTP
tidak menekan kaum buruh supaya jangan mengadakan pemogokan, seperti yang
dilakukan oleh pemimpin-pemimpin reformis.
Tanggal 12 April 1923 diadakan rapat antara kepala-kepala dinas
kereta api dengan pengurus besar VSTP, dan dalam pertemuan ini pimpinan VSTP
mengajukan tuntutan pokok sebagai berikut :
tetap mempertahankan “duurtebijslag” (tambahan kenaikan
upah);
dijalankannya 8 jam kerja sehari;
supaya diadakan badan arbitrase jika ada perselisihan antara
majikan dan buruh.
Selain dari itu dituntut upah minimum f. 1,— sehari,
sedangkan upah yang sudah diakui tahun 1921 tidak boleh dikurangi.
Di antara usul-usul VSTP tidak ada yang diterima. Mengenai 8
jam kerja dijanjikan akan diadakan enquette tentang waktu kerja dan waktu
istirahat, dan tentang badan arbitrase kepala inspektur SS tidak mempunyai
keberatan prinsipiil, tetapi dianggapnya bahwa badan demikian tidak perlu untuk
pegawai negeri.
Setelah nyata bahwa perundingan tidak membawa hasil. Semaun
menerangkan bahwa selanjutnya kaum buruhlah yang akan berbicara dan dia tidak
tanggung akan akibatnya.
Berhubung dengan kegagalan perundingan VSTPSS, di mana-mana
diadakan rapat-rapat penerangan oleh VSTP. Kegiatan-kegiatan dalam mengadakan
penerangan, di mana kolonialisme mendapat serangan-serangan yang sengit,
menyebabkan pemerintah Hindia Belanda mengadakan peringatan pada Semaun supaya
perkataan dan perbuatannya jangan “terlalu galak”. Peringatan pemerintah ini
dijawab dengan kontan, bahwa kaum buruh tidak bisa menjamin keinginan
pemerintah.
Tanggal 29-30 April 1923 di Surabaya diadakan rapat
vaksentral PVH. Dalam rapat ini diputuskan, bahwa pemogokan umum dari kaum
buruh spoor dan tram akan dilangsungkan jika salah seorang pemimpin buruh
ditangkap oleh pemerintah. Dalam rapat VSTP di Semarang, tanggal 6 Mei, sekali
lagi diterangkan oleh Semaun, bahwa pemogokan harus diadakan jika terjadi
penangkapan atas salah seorang pemimpin buruh.
Pemerintah Hindia Belanda memprovokasi pemogokan dengan
menangkap Semaun pada tanggal 8 Mei 1923 dengan alasan persdelik. Segera buruh
kereta api mengadakan rapat, di mana diproklamasikan pemogokan yang dimulai
pada hari itu juga, mula-mula di Semarang, kemudian meluas ke Madiun dan
Surabaya. Pemogokan ini kemudian bersifat umum dan oleh 13.000 dari 20.000
buruh kereta api. Juga buruh bangsa Eropa ambil bagian dalam pemogokan ini.
Pemogokan ini oleh pemerintah dinyatakan di luar hukum. Di daerah-daerah di
mana terjadi pemogokan hak berapat sangat dipersempit, sedangkan propaganda
pemogokan diancam dengan hukuman (artikel 161 bis Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana).
Dengan sangat membatasi hak berapat dan dengan larangan
berpropaganda, pemerintah berusaha memisahkan pemimpin-pemimpin buruh dari
massa kaum buruh. Dalam bulan Mei itu juga pemogokan dapat ditindas oleh
pemerintah. Dengan putusan Pemerintah tanggal 3 Agustus 1923, Semaun diasingkan
ke Timor, tetapi atas permintaannya sendiri Semaun diberi kesempatan untuk
meninggalkan Indonesia.
Demikianlah pemerintah Hindia Belanda membikin lumpuh
serikat buruh-serikat buruh yang terbesar: PFB dalam bulan Agustus 1920, PPPB
dalam bulan Januari 1922 dan VSTP dalam bulan Mei 1923. Tetapi dengan ini
samasekali tidak berarti bahwa aktivitas gerakan buruh revolusioner menjadi
berhenti, dan juga tidak berarti bahwa pengaruh kaum Komunis menjadi berkurang.
Malahan apa yang kita lihat ialah, bahwa pemecatan-pemecatan terhadap buruh
pegadaian dan buruh kereta api, telah menyebabkan lahirnya pemimpin-pemimpin
baru dari kalangan pemogok yang dipecat. Ini juga antara lain yang menyebabkan,
bahwa sehabis tiap-tiap pemogokan besar timbul beberapa serikat buruh baru yang
dipimpin oleh kaum, pemogok yang dipecat. Dan dari mereka tidak sedikit juga
kemudian menjadi pemimpin SI, Serikat Rakyat dan PKI. Kaum buruh Indonesia
mendapat pengalaman, bahwa dalam keadaan yang paling sulit, di mana krisis
menimpa nasib kaum buruh yang memang sudah celaka, kaum Komunis Indonesia
dengan PKI sebagai Partainya, berdiri di depan memberikan pimpinan dan
pembelaannya, walaupun kaum Komunis sendiri berada dalam ancaman penjara dan
buangan. Pengalaman kaum buruh Indonesia sendiri memberi pelajaran, bahwa hanya
kaum revolusioner yang setia pada perjuangan kaum buruh, sebagai kebalikan
daripada kaum reformis, yang meninggalkan barisan kaum buruh di kala topan
reaksi sedang mengamuk. Kaum buruh Indonesia mendapat pelajaran, bahwa
omongan-omongan “keras” dan “radikal” dari pemimpin-pemimpin reformis dalam
keadaan di mana tidak ada perjuangan hidup-mati antara buruh dengan majikan
belum bisa dijadikan ukuran bahwa dalam keadaan pertarungan melawan majikan
mereka akan memihak kaum buruh.
Atas inisiatif Gabungan Serikatburuh Internasional Merah
(Profintern) dalam bulan Juni 1924 diadakan konferensi buruh transport Pasifik
di Kanton. Dalam konferensi ini hadir wakil-wakil buruh pelajaran dan pelabuhan
dari pelabuhan-pelabuhan yang penting di daerah Pasifik. Dari Indonesia hadir
Alimin dan Budisutjitro, dan mereka kecuali menghadiri konferensi juga bertemu
dengan Dr. Sun Yat Sen, yang ketika itu memimpin revolusi Tiongkok.
Dalam konferensi ini antara lain diputuskan, untuk mengeratkan hubungan buruh
transport di daerah Pasifik, membentuk kantor yang berkedudukan di Kanton
dengan bagian-bagiannya untuk Tiongkok, Filipina, Jepang, India dan Indonesia.
Dalam keadaan di mana gerakan Buruh baru mendapat pukulan
dari reaksi, dimana hal-hal demokrasi yang sudah sempit makin hari makin
dibatasi, dan pemimpin-pemimpin buruh banyak yang dibuang atau diasingkan ke
luar negeri, maka sangatlah besar artinya Kongres PKI dalam bulan Desember 1924
di Kota Gede, Yogyakarta. Ketika itu PKI mempunyai 38 Seksi yang meliputi 1.140
anggota, sedangkan Serikat Rakyat, “Onderbouw” PKI, ketika itu mempunyai 46
Seksi dan meliputi 31.000 anggota. Kongres ini diketuai oleh Alimin, dan hadir
pula dalam Kongres ini Budisoetjitro, Darsono, Musso, Aliarcham, dan lain-lain.
Alimin menyampaikan hasil perkunjungannya ke Konferensi transpor daerah
Pasifik. Acara yang terpenting dalam Kongres ini ialah membicarakan usul
Aliarcham yang menghendaki pembubaran Serikat Rakyat dan pekerjaan Partai
supaya dipusatkan pada Serikatburuh. Alasan Aliarcham ialah, karena dalam SR
tergabung massa borjuis kecil, dan massa borjuis kecil adalah tidak bisa
dipercaya dalam semua aksi. Usul Aliarcham mendapat tentangan yang sengit,
karena Kongres yang sebelumnya telah mengakui SR sebagai “Onderbouw” PKI.
Akhirnya diambil putusan yang tidak jelas, yaitu bahwa tidak lagi akan
didirikan cabang-cabang SR yang baru, dan anggota SR yang telah ada sedapatnya
dijadikan anggota PKI.
Walaupun memang tidak tepat SR disusun sebagai “Onderbouw”
PKI, tetapi dari putusan mengenai pembekuan SR dengan alasan bahwa dalam SR
banyak elemen borjuis kecil jelaslah bahwa PKI ketika itu belum mengerti pentingnya
persatuan kaum Buruh dengan kelas borjuis kecil, terutama kaum tani, sebagai
basis daripada front persatuan nasional untuk menuju Indonesia Merdeka.
Kesalahan ini sama dengan kesalahan yang ada pada aliran Marxis “Kiri” di Eropa
Barat, yaitu pemandangan yang salah mengenai kaum tani dan mengenai gerakan
nasional. Oleh karena itu laporan Semaun dalam pleno ke 6 dari Komintern
(tanggal 21 Maret dan 6 April 1925), yang menyatakan bahwa Gerakan
Nasional merugikan PKI dikritik oleh konferensi Komintern. Tentang Serikat
Rakyat yang ketika itu sudah berakar di masyarakat tidak dinyatakan mesti
dibubarkan, tetapi “Adalah perlu, bahwa SR memisahkan diri sebagai organisasi
yang berdiri sendiri. SR harus tumbuh menjadi partai nasional
demokratis yang bersifat massa dengan programnya sendiri, di mana yang
harus diperhatikan ialah soal-soal agraria dan organisasi tani yang bersifat
koperatif”.
Putusan bahwa anggota SR sebanyak-banyaknya akan dijadikan
anggota PKI, agar perlahan-lahan dapat melikuidasi SR, adalah menimbulkan
bahaya, bahwa justru karena putusan ini, terbuka pintu PKI bagi
elemen-elemen borjuis kecil yang dianggap sebagai elemen yang “tidak bisa
dipercaya” itu. Kemudian ternyata, bahwa membubarkan SR memang tidak mudah,
demikian juga menjadikan SR suatu organisasi yang berdiri sendiri lepas dari
PKI. Pengalaman revolusi Rakyat (tahun 1945-1948) menunjukkan, bahwa kaum tani
ada lebih baik diorganisasi oleh organisasi massa tani yang biasa, daripada
oleh SR yang sulit sekali dan banyak makan waktu jika hendak dipisahkan dari
PKI. Oleh karena itu pimpinan PKI memutuskan untuk meniadakan SR dan memperkuat
organisasi-organisasi' massa kaum tani yang juga sudah mempunyai program yang
baik dan nama yang baik di kalangan kaum tani Indonesia.
Akibat dari putusan Kongres PKI di Jogja itu, yang menitik
beratkan pekerjaannya di kalangan kaum buruh, memang menimbulkan kegiatan yang
sangat besar dalam gerakan buruh. Di mana-mana kaum Komunis berusaha
membangunkan dan memimpin serikat buruh. Di kalangan pegawai negeri dan buruh
perusahaan pemerintah, perusahaan pengangkutan, industri dan tambang terutama
di Surabaya, kota pusat perdagangan dan industri, transportasi darat dan laut,
pengaruh kaum Komunis sangat besar.
Pada akhir bulan Desember 1924 di Surabaya diadakan
konferensi buruh pelabuhan dan pelajaran. Dalam konferensi ini nampak sekali
betapa besarnya pengaruh konferensi buruh transportasi daerah Pasifik di
Kanton, dan ini telah mendorong buruh pelabuhan dan pelajaran Indonesia untuk
lebih mempersatukan diri. Demikianlah terjadi penggabungan antara Serikat
Laut dan Gudang di Semarang dengan Serikat Kaum Buruh Pelabuhan di
Jakarta dan Surabaya menjadi SPPL (Serikat Pegawai Pelabuhan dan Lautan), dan
SPPL dirancangkan digabungkan dengan SPLI (Serikat Pegawai Laut Indonesia),
yaitu organisasi anak kapal Indonesia yang didirikan oleh Semaun di Amsterdam
pada kira-kira pertengahan tahun 1924. Selain daripada itu, juga di Surabaya,
dalam rapat yang dihadiri serikat buruh-buruh kereta api, pegadaian, douane,
gula, minyak, dan lain-lain diputuskan mengadakan Sekretariat Serikatburuh
Indonesia Merah, yang akan masuk menjadi anggota Gabungan Serikatburuh
Internasional Merah (Profintern) di Moskow dan juga menjadi anggota Pan
Pacific Labour Union di Kanton.
Tanggal 21 Juli 1925 pecah pemogokan buruh percetakan di
bawah pimpinan Serikatburuh Cetak di Semarang, mula-mula hanya di
satu perusahaan, tetapi kemudian menjalar ke percetakan-percetakan lain.
Tanggal 1 Agustus 1925 pecah pemogokan di Rumah Sakit Umum Negeri (CBZ)
Semarang, sebagai protes terhadap perbuatan angkuh dan keras dari dokter bangsa
Belanda. Serikat buruh pegawai Rumah Sakit Umum adalah anggota dari vaksentral
PVH, yang pada waktu itu mengikat 20 serikat buruh yang meliputi 30.000
anggota. Bersamaan waktunya, terjadi juga pemogokan buruh transportasi pada Semarangse
Stoomboot- dan Prauwenveer di bawah pimpinan SPPL, di mana ikut serta
1.000 kapten dan matros-matros kapal bangsa Indonesia.
Takut kalau-kalau pemogokan menjalar lebih jauh, dan untuk
menjaga apa yang dinamakan “ketertiban umum”, pemerintah Hindia Belanda
berusaha memisahkan pemimpin buruh yang masih ada (sebagian sudah dibuang) dari
massa kaum buruh. Dengan putusan Pemerintah tanggal 17 Desember 1925, tiga
orang yang tersangkut sebagai pemimpin pemogokan, yaitu Aliarcham,
Mardjohan, dan Darsono diinternir, sedang Alimin dan Musso masih sempat
meloloskan diri dari Indonesia. Dalam bulan Januari 1926 Darsono diizinkan
meninggalkan Indonesia dan dia pergi keluar negeri.
Keadaan di mana gerakan buruh kehilangan banyak
pemimpinannya, di mana PKI kehilangan kader-kadernya yang penting dan di mana
PKI belum mendapatkan teori yang tepat dalam menyusun dan memobilisasi kekuatan
Rakyat melawan imperialisme dan feodalisme, menempatkan kedudukan PKI dan kelas
buruh Indonesia dalam keadaan yang sangat sulit ketika terjadi pemberontakan
kaum tani, yang dimulai pada malam tanggal 12-13 November 1926 di Menes
(Banten) dan kemudian menjalar ke berbagai tempat di Jawa; sedangkan di
Sumatera pemberontakan dimulai pada awal 1927. Dan adanya pemberontakan kaum
tani yang tidak terpimpin dengan baik ini, sudah tentu digunakan oleh
pemerintah Hindia Belanda sebagai kesempatan untuk lebih menghancurkan gerakan
buruh dan PKI, dan tentu dengan fitnahan bahwa pemberontakan “direncanakan oleh
PKI”. Padahal tindakan pemerintah-pemerintah Belanda sendiri yang provokatif,
yang menimbulkan kemarahan-kemarahan Rakyat, dengan jalan mengadakan pembatasan
hak bersidang dan hak berbicara, dengan mengadakan larangan terhadap
sekolah-sekolah Serikat Rakyat tahun 1924 yang menyebabkan kaum tani mengadakan
perlawanan-perlawanan mempertahankan sekolahnya, dengan membuang
pemimpin-pemimpin Rakyat, dengan mengadakan kekangan pers dan pemberangusan
puluhan majalah kaum buruh dan Komunis, menangkapi redaktur-redaktur kaum buruh
dan Komunis, dengan mengadakan penyerbuan terhadap kantor-kantor serikat buruh
dan menangkapi aktivis-aktivis serikat buruh, dengan mengadakan barisan teror
yang terkena1 dengan nama “Sarekat Hejo”, dan banyak lagi tindakan-tindakan
pemerintah Belanda yang menimbulkan kemarahan Rakyat. Selain daripada itu
politik kolonial telah membikin nasib kaum buruh dan kaum tani makin hari makin
lebih merosot dan akhirnya tak tertahankan lagi.
Walaupun PKI, sesudah pemberontakan terjadi, berusaha untuk
memberikan pimpinan sedapat-dapatnya dan Rakyat mengadakan perlawanan yang
perwira, tetapi akhirnya pemberontakan kaum tani itu bisa ditindas satu
persatu. Dengan kekejaman yang luar biasa pemerintah menggunakan tangan
besinya. Dalam keadaan demikian, watak kaum reformis seperti Haji Agus Salim cs
sudah sama sekali tidak bisa disembunyikan lagi. Mereka terang-terangan memihak
pemerintah kolonial dan pada hakikatnya mereka bergembira karena kekuatan
Rakyat dirusakbinasakan oleh reaksi. Dalam menghadapi hukuman mati yang
dijatuhkan oleh pemerintah Hindia Belanda terhadap pemberontak-pemberontak yang
perwira, kaum sosial demokrat dan kaum reformis lainnya pada prinsipnya menyetujui
tindakan pemerintah, dan mereka hanya memohon pada pemerintah jajahan supaya
yang dihukum ialah orang-orang yang disebutnya “bersalah”.
Pemberontakan tahun 1926-1927 dapat ditindas oleh pemerintah
kolonial. Kekalahan Rakyat dalam pemberontakan ini membawa kerusakan-kerusakan
pada gerakan kemerdekaan, dan inilah yang dituju oleh imperialis Belanda.
Tetapi sebaliknya, kekalahan pemberontakan tahun 1926-1927 telah memberi
pelajaran pada PKI dan Rakyat Indonesia. Pemberontakan tahun 1926-1927 telah
mengalami kekalahan karena tidak direncanakan, dan dengan sendirinya tidak ada
pimpinan terpusat yang kuat sehingga tidak mungkin ada koordinasi antara
aksi-aksi di berbagai daerah. PKI pada waktu itu tidak mempunyai program
agraria yang sudah dipikirkan matang, yang jelas dan revolusioner, yang bisa
dipakai sebagai dasar dari aksi-aksi kaum tani. Dengan tidak adanya program
agraria dari PKI, tidak mungkin ada hubungan antara tuntutan-tuntutan kaum
buruh di kota dengan tuntutan-tuntutan kaum tani di desa yang berada dalam
keadaan lebih tertindas. Demikianlah kita lihat, pemogokan-pemogokan kaum buruh
sebelum tahun 1926 tidak mendapat sambutan kaum tani di desa-desa dan
perlawanan-perlawanan kaum tani di desa-desa tidak mendapat pimpinan secara
teratur dari kelas buruh dan dari Partainya, yaitu PKI. Selain daripada itu
pekerjaan menarik kaum terpelajar dan kaum pengusaha nasional, yang pada waktu
itu juga tidak puas terhadap kolonialisme, sangat diabaikan, malahan
slogan-slogan yang menuntut “sosialisme”, “soviet” dan “diktator proletariat”,
seperti yang diputuskan oleh konferensi PKI tanggal 7-10 Juni 1924 di Jakarta,
telah membikin kaget kelas-kelas ini dan menjauhkan mereka dari perjuangan
revolusioner melawan imperialisme dan feodalisme.
Gerakan kaum buruh dan gerakan revolusioner Indonesia
mendapat pukulan yang lebih besar lagi dengan perbuatan Tan Malaka yang
bersifat melikuidasi PKI dan mendirikan PARI (Partai Republik Indonesia) pada
pertengahan tahun 1927 di luar negeri (Tan Malaka tahun 1922 dikeluarkan oleh
pemerintah Hindia Belanda dari Indonesia berhubung dengan pemogokan buruh
pegadaian). Likuidasi-isme Tan Malaka telah memperbesar kekalahan
pemberontakan, dan telah memberikan didikan yang jelek pada gerakan
revolusioner Indonesia, karena akibatnya telah menimbulkan perpecahan yang
besar dalam barisan revolusioner serta memberi kemungkinan-kemungkinan istimewa
pada aparat Belanda (kemudian Jepang) untuk memecah belah dan merusak PKI serta
gerakan revolusioner umumnya yang pada waktu itu terpaksa bekerja di bawah
tanah.
Semacam kapitulasi sudah dilakukan oleh Semaun dalam bulan
Desember 1926, jadi ketika pemberontakan sedang hangat-hangatnya di Indonesia.
Pada malam tanggal 5 Desember 1926 terjadilah suatu peristiwa yang sangat
menyedihkan bagi proletariat dan Rakyat Indonesia, karena pada malam itu Semaun,
sebagai wakil PKI mengadakan kontrak dengan Mohammad Hatta, sebagai wakil
PI (Perhimpunan Indonesia). Kontrak ini dibikin di Leiden dan isinya adalah
menghina proletariat dan Rakyat Indonesia, apalagi di mana Rakyat sedang
mengadakan pemberontakan yang perwira melawan penjajahan Belanda. Di dalam
kontrak itu jelas dikatakan bahwa PKI harus menyerahkan pimpinan gerakan Rakyat
pada PI. Tidak hanya itu, PKI juga diwajibkan mengakui pimpinan PI, harus
mempercayai PI dengan sepenuh hati dan menyerahkan semua kekayaannya yang ada
pada PI. Dengan sendirinya, kapitulasi Semaun sebagai wakil proletariat
Indonesia kepada Mohammad Hatta, disambut oleh kaum borjuis sebagai suatu
kemenangan yang besar, dan Hatta sebagai triomfatornya. Dengarkan isi kalbu
kaum borjuis dalam menyambut kemenangan mereka ini: “Semaun, yang di Jawa
terlihat sebagai sebuah gunung di atas sebuah dataran, adalah seorang yang
biasa saja di tengah pelajar-pelajar yang bersenjatakan pengetahuan ekonomi dan
politik yang luas” (A.K. Pringgodigdo dalam buku Sedjarah Pergerakan
Rakyat Indonesia halaman 63). Sombong sekali ucapan ini, tetapi
demikianlah kemenangan sementara ini disambut oleh golongan borjuis Indonesia.
Tetapi akhirnya mereka kecewa dan gigit jari, karena dengan menundukkan Semaun
tidak berarti mereka bisa menundukkan proletariat, karena segera sesudah itu Komintern menyalahkan
tindakan Semaun sehingga Semaun terpaksa mencabut kontraknya dengan lekas dan
dengan terang-terangan.
Dengan dibuangnya pemimpin-pemimpin buruh seperti
diterangkan di atas dan dengan adanya larangan bersidang, berarti pukulan yang
keras bagi vaksentral PVH. Apalagi sesudah pemberontakan tahun 1926, yang
mengakibatkan kaum Komunis dibunuh, dipenjarakan dan dibuang, pada waktu itu
boleh dikata PVH tidak berdaya lagi, sekalipun sebagian serikat buruh-serikat
buruh anggota PVH masih terus berdiri.
SI yang selama ada pemogokan-pemogokan berdiri di luar
pemogokan, berusaha untuk mengambil pimpinan serikat buruh yang terpaksa
ditinggalkan oleh kaum Komunis karena dimasukkan penjara atau dibuang. Walaupun
tidak ada saingan dari kaum Komunis, keadaan sudah tidak mungkin bagi SI untuk
mengambil pimpinan serikat buruh-serikat buruh. Tentang ini diterangkan oleh A.K.
Pringgodigdo dalam bukunya Sejarah Pergerakan Rakyat Indonesia di
halaman 99 sebagai berikut:
“Akan tetapi SI tidak berdaya lagi untuk memperbaiki kembali
hubungan di antara macam-macam serikat sekerja yang telah putus itu; pengaruh
SI sudah terlampau turun. SI hanya dapat berpengaruh di dalam perkumpulan
pegawai pegadaian yang diketuai oleh Surjopranoto; perkumpulan ini sesudah
pemogokan pegadaian sangat jinak, ia kehilangan anggota-anggota yang bersikap
berani”.
Komentar
Posting Komentar